Jumat, 27 April 2012

HASIL PENELITIAN

HASIL PENELITIAN
ESENSI DAN URGENSITAS PERATURAN DAERAH
DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
OLEH:
TIM PENELITI UNIVERSITAS HASANUDDIN
Ketua : Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi
Wakil Ketua : Prof. Dr. Syamsul Bachrie, SH, MSi
Sekretaris : Judhariksawan, SH, MH
Anggota : Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, SH, MH
Prof. Dr. Ahmad Ruslan, SH, MH
Dr. Anshory Ilyas, SH, MH
Zulkifli Aspan, SH, MH
Romi Librayanto, SH, MH
Amir Ilyas, SH, MH
Tim Pendukung : Mardiana, S.Sos
Hasaning
Abdul Hakim
KERJASAMA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2009DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Abstraksi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………. 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….. 6
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 7
BAB II KERANGKA TEORITIS
E. Pemerintahan Daerah ………………………………………………….. 8
F. Otonomi Daerah ………………………………………………………… 18
G. Peraturan Daerah sebagai Produk Hukum Daerah .............................. 23
H. Landasan Teoritis ..................................................................................... 34
BAB III METODE PENELITIAN
I. Tipe Penelitian ………………………………………………………….. 49
J. Bahan Hukum …………………………………………………………… 50
K. Metode Analisis …………………………………………………………. 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
L. Esensi Peraturan Daerah Dalam Otonomi Daerah …………………… 51
M. Otonomi dan Materi Muatan Peraturan Daerah …………………….. 59
N. Implikasi Peraturan Daerah Dalam
Sistem Perundang-undangan Nasional ………………………………… 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………… 105
B. Saran …………………………………………………………………….. 107
DAFTAR PUSTAKA Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya telah
memberikan kesempatan kepada Universitas Hasanuddin dan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia untuk melakukan kerjasama penelitian dalam rangka pelaksanaan
tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia masa bakti 2004 – 2009.
Penelitian ini mengangkat tema tentang pelaksanaan otonomi daerah yang dikaji dari
aspek keberadaan, esensi dan urgensitas peraturan daerah, dengan judul : Esensi dan
Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Penelitian ini
tidak hanya bermaksud untuk mengkaji tentang bagaimana posisi peraturan daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dewasa ini, akan tetapi lebih merupakan upaya
untuk menemukan dan mengungkapkan bagaimana hakikat peraturan daerah, proses
pembuatan dan materi muatannya yang khas, serta kendala dan permasalahan yang
ditemukan dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah yang otonom.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambil
keputusan, baik di tingkat pusat maupun daerah, terutama bermanfaat bagi para anggota
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD R.I.) dalam mengemban dan
melaksanakan fungsi dan kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini bermanfaat bagi DPD R.I. sebagai manifestasi keterwakilan daerah dalam
urusan pemerintahan pusat sebagai bahan dasar pengambilan keputusan dan kebijakan.
Sehingga kami sangat menaruh apresiasi yang tinggi terhadap upaya dari DPD R.I. untuk
melibatkan kalangan perguruan tinggi dalam mengkaji masalah-masalah yang menjadi
kewenangannya.
Untuk itu kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan kerjasama yang telah
diberikan atas terselenggaranya kerjasama penelitian ini. Adalah hal yang manusiawi jika
masih terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan, untuk itu dimohonkan maaf yang
sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Makassar, 29 Agustus 2009
A.n. Tim Peneliti,
Ketua,
Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi ABSTRAKSI
Penelitian dengan judul Esensi dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah, dilaksanakan hasil kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia dan Universitas Hasanuddin. Penelitian ini dilaksanakan berdasar adanya
fenomena-fenomena dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak tercetusnya
Undang-Undang tentang Otonomi Daerah yang selanjutnya diganti dengan UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah.
Fenomena yang ditemukan dalam kerangka awal peneltian ini bermula pada
adanya prinsip otonomi daerah yang menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan opemerintahan
di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi
kepada daerah pada intinya adalah untuk memberikan keleluasaan daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah
demi terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan
kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat
dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah.
Salah satu instrumen bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan rumah
tangganya sendiri, sehingga otonominya benar-benar nyata dan bertanggung jawab,
adalah Peraturan Daerah. Kenyataannya, sangat banyak Peraturan Daerah yang esensi
dan urgensinya belum/tidak mencerminkan dirinya sebagai instrumen pelaksanaan
otonomi daerah. Hal ini berawal dari rendahnya pemahaman terhadap hakikat Peraturan
Daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Selain itu juga, pada umumnya materi
muatan Peraturan Daerah belum mencerminkan materi muatan yang khas pada satu
daerah otonom. Hal ini nampak pada kualitas materi muatan Peraturan Daerah. Selain
kedua hal tersebut, masih banyak pula permasalahan Peraturan Daerah yang bersumber
dari belum baiknya harmonisasi dan sinkronisasi dari Peraturan Daerah. Fenomena ini
dapat dilihat pada fakta rendahnya sinkronisasi dan harmonisasi, antara Peraturan Daerah
dengan Peraturan Daerah, dan antara Peraturan Daerah dengan peraturan lainnya.
Penelitian ini dilakukan berdasar pada 3 (tiga) rumusan masalah yaitu: Sejaumana
esensi dan urgensi Peraturan Daerah telah mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi
daerah? Sejauhmana materi muatan Peraturan Daerah telah mencerminkan muatan yang
khas pada suatu daerah otonom? Dan Bagaimanakah implikasi keberadaan Peraturan
Daerah secara vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan lainnya?
Penelitian dilakukan Untuk mengetahui esensi dan urgensi Peraturan Daerah yang
mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah, untuk mengetahui materi muatan
Peraturan Daerah yang mencerminkan muatan yang khas pada suatu daerah otonom, serta
untuk mengetahui implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara vertikal dan horizontal
terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Beberapa teori yang melandasi penelitian ini antara lain menurut Sri Soemantri
(1987: 65) bahwa pembagian kekuasaan dalam negara yang berbentuk Kesatuan, seperti
Indonesia, asasnya adalah seluruh kekuasaan dalam negara berada di tangan pemerintah
pusat. Walaupun demikian hal itu tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada di tangan
pemerintah pusat, karena ada kemungkinan mengadakan dekonsentrasi kekuasaan ke
daerah lain dan hal ini tidak diatur dalam konstitusi. Hal ini berbeda dengan negara
kesatuan yang bersistem desentralisasi. Dalam konstitusi negara tersebut terdapat suatu
ketentuan mengenai pemencaran kekuasaan tersebut (desentralisasi).
Teori lain diutarakan Bagir Manan, bahwa mengingat bahwa Peraturan Daerah
(termasuk peraturan desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom),
dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan
"pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan wewenangnya". Suatu Peraturan
Daerah yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih
tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan
tingkat yang lebih tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD
atau UU Pemerintahan Daerah (Jazim Hamidi, 2008:35).
Kemudian Rosjidi Ranggawidjaja (1998: 43) menegaskan, bahwa suatu peraturan
perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan, yaitu
landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, bahkan ada yang
menambahkannya landasan politis. Materi muatan Peraturan Daerah yang menyimpang
dari landasan yuridis, mengakibatkan Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh
pemerintah karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah yang tidak sesuai dengan aspek filosofis dan
aspek sosiologis dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga menuntut
Peraturan Daerah bersangkutan untuk dicabut. Akibat lebih jauh, masyarakat tidak akan
mematuhi keberlakuan Peraturan Daerah tersebut.
Selain teori tersebut, beberapa teroi dan kajian lain juga dijadikan acuan dalam
melakukan penelitian yang menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan
konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) yang dianalisis dengan metode analisis krisis (critical analysis) melalui
pendekatan analisis komprehensif (comprehensive analysis). Pendekatan tipe ini adalah
peneliti mengungkapkan tidak hanya segi ketidaksempurnaan, tetapi juga segi
keunggulan (secara filosofis, sosiologis, dan yuridis) dan sekaligus menawarkan solusi
terhadap objek permasalahan yang dikaji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sebagaimana amanat undang-undang,
penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional
yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu
penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Untuk menunjang pelaksanaan kewenangan yang diberikan sebagai daerah
otonom, Daerah Provinsi, Kota dan Kabupaten, diberikan kewenangan untuk
menyelenggarakan sistem regulasi yang juga bersifat otonom, yang dikenal dengan istilah
Peraturan Daerah (Peraturan Daerah). Hasil amandemen UUD 1945 telah menetapkan
bahwa Peraturan Daerah sebagai salah satu bentuk hukum peraturan perundangundangan, yang sebelumnya hanya diatur berdasarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Mengingat landasan pijakannya bersumber dari UndangUndang Dasar, maka Peraturan Daerah harus mampu mengemban cita hukum
(rechtsidee) pembangunan hukum yang digariskan dalam UUD 1945 yang mengacu pada
tiga watak hukum, yaitu: hukum yang demokratis, hukum yang berperikemanusiaan, dan
hukum yang berkeadilan sosial. Ketiga watak hukum ini telah sejalan dengan konsepsi
dan idealitas hukum modern yang kini tengah diperjuangkan di berbagai belahan bumi
ini. Ketiga watak hukum tersebut sepenuhnya mengacu pada kodrati manusia yang
memiliki harkat, martabat, kebebasan dan kesamaan.
Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan sesuatu yang inherent
dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah
itu sendiri yang bersendikan kemandirian (zefstandigheid) dan bukan merupakan suatu
bentuk kebebasan suatu satuan pemerintahan yang merdeka (onafhankelijkheid),
Kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa Daerah berhak mengatur dan mengurus
urusan rumah tangga pemeirntahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini
mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan
perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan Daerah. Dengan semikian,
kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu yang mutlak dalam
mengatur urusan rumah tangga daerah, dalam wadah negara kesatuan yang tetap
menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen.
Peraturan Daerah merupakan norma hukum yang materinya bersifat mengatur dan
berlaku umum, mengandung muatan abstrak, sehingga masih memerlukan tindak lanjut
dalam tataran operasionalnya. Dalam konteks ini, Kepala Daerah dapat menetapkan
Keputusan Kepala Daerah, sesuai dengan pendelegasian yang bersumber dari pasal-pasal
materi Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Pada hakikatnya, Peraturan Daerah merupakan keputusan dalam arti luas, sebagai tujuan
untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia dalam
masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat dan mejaga
keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang bersangkutan atas dasar keadilan,
untuk mencapai keseimbangan dan kesejahteraan umum.
Secara substansial Peraturan Daerah mengatur urusan pemerintahan yang sangat
luas, sejalan dengan kehendak udang-undang yang memberikan otonomi yang seluasluasnya kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Substansi Peraturan Daerah
Kabupaten dan Kota jauh lebih luas, tetapi tidak demikian halnya pada Peraturan Daerah
Provinsi, meskipun sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kewenangan Provinsi
sebagai daerah otonom lebih terbatas dibandingkan dengan kewenangan kabupaten dan
kota yang juga sebagai daerah otonom. Kewenangan masing-masing daerah pada bentuk
hukum seperti Peraturan Daerah, perlu dipahami dengan baik dan hati-hati, sebab
berpotensi menimbulkan konflik kewenangan, khususnya antara provinsi dengan
kabupaten dan kota. Bagi Provinsi, lingkup kewenangan jelas, yaitu hanya terbatas pada ketiga hal di
atas, sementara daerah kabupaten dan kota pun di dalam menerjemahkan kewenangan
yang luas tersebut ke dalam Peraturan Daerah. Banyak di antara urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah kabupaten dan kota tidak hanya berdimensi lokal,
tetapi juga nasional, seperti pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup. Bahkan, ada
yang berdimensi internasional, tidak hanya nasional, apalagi lokal seperti perhubungan.
Ada unsure-unsur dari urusan tersebut yang harus diatur, bahkan diselenggarakan secara
nasional, tidak secara lokal.
Terdapat beberapa perbedaan sifat substansi Peraturan Daerah berdasarkan
otonomi dan berdasarkan tugas pembantuan. Berdasarkan otonomi, sudah jelas
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Berdasarkan tugas pembantuan, substansi
Peraturan Daerah mencakup pengaturan tentang tata cara penyelenggaraan rumah tangga
daerah yang tidak bersumber pada undang-undang, tetapi semata-mata berdasarkan
kebijakan (beleid) dari satuan pemerintahan yang di bantu. Materi yang diatur di
dalamnya bersifat tertentu (limitative) sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan satuan
pemerintahan yang di bantu. Makin terbatas urusan pemerintahan Pusat, makin sedikit
cakupan tugas pembantuan. Berdasarkan wewenang Pusat yang diatur dalam undangundang, maka tugas pembantuan mungkin akan mengenai bagian tertentu dari
penyelenggaraan pertahanan dan keamanan, bagian tertentu dari urusan moneter dan
fiskal serta urusan keagamaan. Dibidang politik luar negeri, tidak akan ada tugas
pembantuan. Bahkan, sebaliknya pusat akan mengawasi wewenang daerah untuk
mengadakan hubungan luar negeri.
Dalam kenyataan, walaupun telah ada bingkai yang jelas tentang materi muatan
Peraturan Daerah, akan tetapi masing-masing daerah dapat menyusun Peraturan Daerah
yang materi muatannya selain dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah tertentu atau ciri khas masingmasing daerah. Hal ini menunjukan bahwa wajarlah jika local content menjadi materi
muatan sebuah Peraturan Daerah. Materi muatan lokal itu bisa saja diangkat dari adat
istiadat masyarakat setempat dan nilai-nilai yang menonjol di daerah tersebut.
Di Sulawesi Selatan banyak ditemukan Peraturan Daerah yang merupakan
peraturan yang bersifat untuk mengakomodasi potensi alam, sumber daya dan kultural.
Salah satu contoh adalah Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Laut yang didasari pertimbangan bahwa untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dimiliki Provinsi Sulawesi
Selatan berdasarkan kontur geografisnya. Kewenangan Kota/kabupaten untuk mengatur
dan mengurus sendiri potensi kelautannya merupakam modal dasar bagi peningkatan
kemampuan daerah dalam berotonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, kewenangan Kota/kabupaten dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi
sumber daya kelautan sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan, baik dalam rangka otonomi daerah maupun dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, maka kebijakan pemerintah
daerah harus dilakukan secara simultan, terencana dan terpadu. Untuk mencapai
dayaguna dan optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya pesisisr
dituntut adanya kebijakan daerah yang sejalan dengan kebijakan nasional, untuk hal
khusus dan tertentu Pemerintah Kota/Kabupaten dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Dalam konteks ini, maka kebijakan
daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya pesisir dapat dilakukan
berdasarkan kewenangan yang telah diberikan undang-undang dan dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, Pemerintah
Daerah Sulawesi Selatan juga memiliki Peraturan Daerah tentang Pelestarian Terumbu
Karang.
Dalam bidang sosial politik, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga telah
melaksanakan suatu Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan
Gratis. Contoh lain yang dapat dikemukakan adalah adanya Peraturan Daerah yang
bersifat sektoral seperti Kpeariwisataan di Tana Toraja yang memiliki potensi wisata
budaya yang tinggi. Dalam bidang keagamaan, ditemukan banyak sekali daerah yang
membuat Peraturan Daerah - Peraturan Daerah berbasis agama, seperti Peraturan Daerah
Syariah di Bulukumba, Desa Syariah di Kabupaten Maros dan Peraturan Daerah tentang
memakai busana muslim/muslimah dan membaca Al-Qur’an. Pembuatan Peraturan
Daerah berbasis syariah telah menjadi polemik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
dan menjadi perdebatan.
Ada Peraturan Daerah yang dibentuk oleh suatu daerah ternyata diikuti dan
dicontoh oleh daerah lain namun dalam kenyataannya Peraturan Daerah tersebut tidak
cocok dengan kondisi daerahnya. Sebagai contoh, lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten
Bulukumba No. 6 tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon
Pengantin Dalam Kabupaten Bulukumba. Peraturan Daerah ini mensyaratkan wajib bisa
mengaji bagi calon pengantin. Akibatnya beberapa perkawinan sempat tertunda karena
calon pengantin tak dapat memenuhi syarat itu, sedang pihak keluarga sudah melakukan
sosialisasi perkawinan anaknya. Dalam kebudayaan Bugis Makassar, pembatalan suatu
perkawinan merupakan siri' (malu). Jadi Peraturan Daerah ini berpotensi memicu konflik
sosial. Penerapan Peraturan Daerah seperti ini juga dilakukan di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) namun tidak menimbulkan konflik sosial karena masyarakat di NAD
memang telah menerima syariah Islam sejak dahulu dan kondisi masyarakat NAD yang
homogen tentu saja lebih mendukung pelaksanaan Peraturan Daerah syariah Islam. Selain
itu penerapan syariah Islam di Aceh terkait erat dengan political expediency Pemerintah
Pusat guna mempertahankan NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Jadi, suatu Peraturan Daerah yang diberlakukan di suatu
daerah belum tentu sesuai untuk dibentuk di daerah lain karena kondisi tiap daerah
terutama kultur dan kearifan lokalnya tidak sama. Selain itu, keinginan membentuk
peraturan daerah dalam waktu yang cepat kadang membuat para pembentuk peraturan
daerah hanya melakukan copy paste baik dari peraturan daerah dari daerah lain maupun
dari aturan yang lebih tinggi. Sebagai contoh Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Utara
No. 2 tahun 2002 tentang Retribusi Pengawasan Mutu dan Pengembangan Produksi
Cengkeh dan Pala ternyata dari segi bentuk dan isi hanya copy paste dari Undang-undang
No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sehingga materi dari
Peraturan Daerah ini tidak sejalan dengan kondisi masyarakat setempat.
Namun hal negatif yang ditemukan dalam berbagai penelitian yang mengkaji
peranan Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah bahwa seringkali
penyusunan Peraturan Daerah tidak berdasarkan pada aspek kebutuhan publik, tetapi
lebih merupakan pengejewantahan pada aspek kepentingan Pemerintah Daerah. Kepentingan yang utama dan yang umum ditemukan adalah kepentingan Pemerintah
Daerah terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena orientasi
pembentukan Peraturan Daerah lebih dititikberatkan pada PAD maka seringkali jenis dan
objek pengaturan dalam Peraturan Daerah bukan merupakan hasil elaborasi atau
penelitian terhadap kepentingan masyarakat. Sehingga wajar ditemukan dalam kenyataan
jika masyarakat seringkali tidak dilibatkan dalam pembentukan suatu Peraturan Daerah
atau tidak bersifat partisipatif. Padahal keterlibatan stakeholder dalam penyusunan suatu
peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dan syarat legal drafting dalam
bingkai demokrasi dan negara hukum yang telah menjadi fondasi bangsa ini. Pandangan
sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar tahapan penyebarluasan
(sosialisasi) Peraturan Daerah harus dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi
komunikasi hukum antara Peraturan Daerah dengan masyarakat yang harus patuh. Pola
ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam Peraturan
Daerah sehingga ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.
Berdasarkan sistem norma hukum berjenjang (stufentheory) yang dianut
Indonesia, suatu produk perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah
terkait dengan otonomi daerah, maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang
menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten/kota, dapat menjadi materi muatan peraturan daerah sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan
umum.
Peraturan Daerah yang substansinya merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-Undangan yang lebih tinggi, dalam ketentuan perundang-undangan tidak
begitu jelas. Namun, penjabaran lebih lanjut peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi
oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah dapat dilakukan dalam rangka tugas
pembantuan dan dekonsentrasi. Kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan
dekonsentrasi dengan satuan pemerintahan yang lebih tinggi, oleh karena itu, Peraturan
Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
hanya mingkindalam tugas pembantuan. Provinsi mempunyai hubungan dekonsentrasi
dengan satuan pemerintah lebih tinggi (Pusat). Akan tetapi, hubungan ini bukan dengan
Pemerintah Daerah Provinsi, melainkan dengan gubernur Sebagai Wakil Pemerintah
Pusat. Olehnya itu, tidak mungkin dibentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan tugas
dekonsentrasi.
Sebagai contoh, dalam prakteknya, beberapa daerah mencoba menggunakan
instrumen Peraturan Daerah guna mengatasi persoalan ketenagakerjaan di daerahnya
masing-masing, akan tetapi tidak sedikit Peraturan Daerah Ketenagakerjaan yang
dibentuk di beberapa daerah kemudian dibatalkan oleh pemerintah pusat. Pembatalan
Peraturan Daerah Ketenagakerjaan dilakukan oleh pemerintah pusat karena Peraturan
Daerah-Peraturan Daerah tersebut dinilai tidak kondusif bagi upaya menggalang arus
investasi di daerah.
Ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Daerah lain cukup membingungkan, sebab Peraturan Daerah lain dapat berarti Peraturan
Daerah dalam lingkungan pemerintahan daerah yang sama, atau Peraturan Daerah
Pemerintahan Daerah lain yang sederajat, atau pula Peraturan Daerah dari pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota terhadap Peraturan Daerah Provinsi dalam Wilayah yang
sama. Pada dasarnya memang tidak boleh ada pertentangan antar Peraturan Daerah dalam
pemerintahan daerah yang sama. Apabila terjadi, akan diselesaikan melalui prinsip “lex
posteriori derogat legi priori” dan “lex superior derogate legi inferiori”. Apabila
ketentuan baru yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan lama yang lebih tinggi,
maka ketentuan baru harus dikesampingkan dengan memperhatikan lingkungan
wewenang masing-masing.
Terhadap ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan batal demi hukum, atau
dapat dibatalkan. Sepanjang Peraturan Daerah bertentangan dengan UUD, Tap MPR, dan
Undang-undang, akan batal demi hukum atau mesti dibatalkan. Tidak demikian halnya
dengan peraturan perundang-undangan lain. Apabila peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang ternyata mengatur hal-hal otonomi dan tugas pembantuan sebagai
urusan rumah tangga daerah, maka peraturan itulah yang harus dibatalkan, bukan
Peraturan Daerah dengan mengatur tanpa wewenang (ultra vires). Kalau ini tidak dapat
dipegang dapat terjadi pergeseran terhadap urusan rumah tangga daerah ke arah
sentralisasi sebagai sesuatu yang justru berlawanan dengan semangat otonomi seluasluasnya yang digariskan undang-undang.
Upaya hukum bagi penyelesaian konflik antara daerah otonom dan Pemerintah
yang berakar pada pembatalan produk hukum daerah otonom sebaiknya tidak dilatari
oleh analogi penyelesaian konflik antara konstitusi Negara Bagian dan konstitusi federal
lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara Kesatuan kita perlu berpegang pada prinsip
bahwa daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah. Dengan demikian daerah otonom
hanya dimungkinkan menempuh upaya hukum melalui upaya administratif. Salah satu
persoalan pokok yang muncul berkenaan dengan pembatalan Peraturan Daerah oleh
Departemen Dalam Negeri. Salah satu contoh adalah pembatalan dua Peraturan Daerah
Pemerintah Kota Makassar yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang dan
merugikan Publik. Dua Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Daerah Nomor 8
Tahun 1996 tentang Retribusi Pasar dan Pusat Perbelanjaan di Makassar dan Peraturan
Daerah Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pajak Parkir. Pembatalan kedua Peraturan Daerah
Kota Makassar itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri)
Nomor 19 Tahun 2006 dan Nomor 20 Tahun 2006 tertanggal 28 Februari 2006. Selain
dua Peraturan Daerah dari Pemerintah Kota Makassar, menurut Direktur Bina
Administrasi Keuangan Depdagri Daeng Mochammad Nazier, sudah ada 393 Peraturan
Daerah sejenis yang sudah dibatalkan oleh Mendagri. Peraturan Daerah tersebut berasal
dari seluruh daerah di Indonesia
Dalam teori perundang-undangan, Peraturan Daerah merupakan bagian dari
peraturan karena bersifat mengatur (regeling) bukan bagian dari ketetapan atau keputusan
(beschikking). Artinya, norma hukum yang dikandung dalam Peraturan Daerah adalah
norma hukum umum. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan
untuk umum, addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua warga negara.
Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) dimana addresat-nya tertuju
pada seseorang, beberapa orang, atau perindividu. Oleh karena itu, pembatalan sebuah peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula pembatalan sebuah ketetapan
atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan atau keputusan serupa.
Akan tetapi, pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah (pusat) tidak dapat
dilakukan secara sewenang-wenang. Ada syarat dan mekanisme sebuah Peraturan Daerah
dapat dibatalkan oleh pemerintah. Syarat utama pembatalan Peraturan Daerah adalah
bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah harus ditetapkan dengan Peraturan
Presiden (Pasal 145 Ayat 3 UU 32/2004). Peraturan Presiden (Perpres) adalah salah satu
jenis peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden yang materinya berupa
materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian, Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan Menteri
Dalam Negeri (Kepmendagri) merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu
terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah harus dalam
bentuk Perpres bukan Kepmendagri, lagi pula sangat janggal karena Peraturan Daerah
yang masuk dalam rumpun regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam
rumpun beschikking. Setidaknya, Kepmendagri yang membatalkan Peraturan Daerah
tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah,
karena keputusan tersebut harus dikukuhkan atau dikemas ulang dalam bentuk Peraturan
Presiden (Perpres).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan yang diperoleh
adalah sebagai berikut:
1. Esensi dan urgensi Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah
sangat strategis. Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan
sesuatu yang inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai
konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah itu sendiri yang bersendikan
kemandirian yang mengandung arti bahwa Daerah berhak mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur
disini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa
peraturan perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan Daerah.
Dengan semikian, kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu
yang mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah, namun dalam wadah
negara kesatuan yang tetap menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang
bersifat subordinat dan independen.
2. Ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Peraturan Daerah
telah diberikan batasan berdasarkan undang-undang. Namun ditemukan berbagai
kekhasan dalam materi muatan Peraturan Daerah yang secara khusus
mencerminkan berbagai potensi yang dimiliki oleh suatu daerah otonom. Materi
muatan Peraturan Daerah sangat dipengaruhi oleh kultur budaya dan dinamika
sosial politik serta pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali upaya pelayanan
terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat ternoda oleh kecenderungan
untuk menggunakan Peraturan Daerah sebagai mekanisme untuk menambah
pendapatan asli daerah yang berujung pada tindakan represif yang justru
mengorbankan kepentingan rakyat. Peran aktif masyarakat dalam setiap proses pembuatan Peraturan Daerah diharapkan mampu meminimalisir kesenjangan dan
masalah yang dapat terjadi.
3. Peraturan Daerah memiliki posisi dalam sistem hirarki peraturan perundangundangan, sehingga keberadaannya tidak luput dalam tatanan sistem prinsip yang
berlaku. Keharusan untuk tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
serta keharusan untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan
perundangan lainnya adalah hal yang perlu senantiasa dihormati dalam bingkai
negara hukum. Temuan tentang adanya mekanisme yang belum sesuai dalam
konteks penyelesaian perselisihan antar Peraturan Daerah yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat memerlukan perhatian yang serius agar tercipta kepastian
hukum dan tercapainya good legislation governance dalam sistem hukum
ketatatanegaraan Indonesia.
Adapun saran-saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kelemahan utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah adanya
pemahaman Pemerintah Daerah bahwa kewenangan seluas-luasnya serupa dengan
konsep kewenangan negara bagian pada negara federal sehingga seringkali
Pemerintah Daerah bertindak ultra vires dengan membuat berbagai Peraturan
Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
secara nasional. Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia maka
disarankan adanya upaya setiap Pemerintah Daerah mengubah paradigma tersebut
agar tercipta kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian hukum
bagi setiap warga masyarakat.
2. Karena masih adanya persepsi yang keliru tentang mekanisme pembatalan
Peraturan Daerah, maka disarankan untuk membentuk peraturan yang bersifat
operasional dan aplikatif yang merinci secara komprehensif, termasuk
kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme atau prosedural yang sah dalam
proses evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah. Sehingga ke depan dapat
dihindarkan adanya kesalahan prosedural dan pemerintah memiliki pedoman yang
jalan tentang mekanisme tersebut. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya
penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka instrumen pemerintahan
memegang peran yang sangat penting dan vital guna melancarkan
pelaksanaan fungsi dan tugas pemerintahan daerah. Instrumen
pemerintahan daerah merupakan alat atau sarana yang ada pada pemerintah
daerah untuk melakukan tindakan atau perbuatan pemerintahan yang
memuat berbagai jenis atau macam instrumen pemerintahan daerah. Dengan
kata lain, yang dimaksud dengan instrumen pemerintahan daerah adalah alat
atau sarana yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya. Instrumen pemerintahan daerah
merupakan bagian dari instrumen penyelenggaraan pemerintahan negara
dalam arti luas.
Hal ini kemudian memberikan peluang kepada pemerintah daerah
untuk dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu demi
kesejahteraan rakyat di daerah masing-masing. Keadaan ini kemudian
mendorong pemerintah daerah untuk mengambil dan memberlakukan
kebijakan-kebijakan yang bersifat mengatur keadaan di daerah dengan
1 mengeluarkan berbagai macam perundang-undangan antara lain peraturan
daerah (yang kemudian disingkat menjadi Peraturan Daerah) yang
merupakan salah satu instrumen hukum penyelenggaraan pemerintah
daerah di samping instrumen hukum yang lain yang berupa sarana dan
prasarana yang digunakan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam
pemerintahan yang digolongkan ke dalam public domain.
Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa :
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan opemerintahan di luar yang menjadi urusan
pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah
suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan
demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus
selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang
2 tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi
daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah
dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama
antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan
mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah
pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin
hubungan yang serasi antar daerah dan pemerintah, artinya harus
mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan
tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan Negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan
yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang
berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian,
pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu,
diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi,
pengendalian, koordinasi, pementauan, dan evaluasi. Bersamaan itu
pemerintah wajib memberikan fasiliotas yang berupa pemberian
peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar
dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan
efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah
pada intinya adalah untuk memberikan keleluasaan daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan
berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan
dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai
dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah.
Ciri-ciri pembangunan daerah yang memanfaatkan kewenangan
otonomi dapat di identifikasi ke dalam beberapa hal, antara lain :
3 1. Bahwa pembangunan itu berasal dari ide, aspirasi dan inspirasi
masyarakat yang dicetuskan melalui lembaga-lembaga legislatif
setempat, sebagai aspek politis
2. Bahwa pembangunan direncanakan secara relatif tepat dengan
kebutuhan dan potensi daerah, yang umumnya untuk jangka waktu
sedang dan pendek.
3. Proses pembangunan akan benyak berorientasi dengan mekanisme
kedaerahan, baik secara fisik maupun secara sosial budaya.
Salah satu instrumen bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan
rumah tangganya sendiri, sehingga otonominya benar-benar nyata dan
bertanggung jawab, adalah Peraturan Daerah. Hal ini terakomodir dalam UU
No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 136 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa
Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Selanjutnya, pada Ayat (3)
disebutkan bahwa Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri
khas masing-masing daerah. Selanjutnya, pada Pasal 12 UU No. 10 Tahun
2004 dinyatakan bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
4 pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004 ditegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan
(termasuk pembentukan peraturan daerah) adalah proses pembentukan atau
pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari
proses perencanaan, perancangan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, penyebarluasan, dan evaluasi.
Kenyataannya, sangat banyak Peraturan Daerah yang esensi dan
urgensinya belum/tidak mencerminkan dirinya sebagai instrumen
pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini berawal dari rendahnya pemahaman
terhadap hakikat Peraturan Daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah.
Selain itu juga, pada umumnya materi muatan Peraturan Daerah belum
mencerminkan materi muatan yang khas pada satu daerah otonom. Hal ini
nampak pada kualitas materi muatan Peraturan Daerah. Selain kedua hal
tersebut, masih banyak pula permasalahan Peraturan Daerah yang
bersumber dari belum baiknya harmonisasi dan sinkronisasi dari Peraturan
Daerah. Fenomena ini dapat dilihat pada fakta rendahnya sinkronisasi dan
harmonisasi, antara Peraturan Daerah dengan Peraturan Daerah, dan antara
Peraturan Daerah dengan peraturan lainnya. Berdasarkan fenomena
5 tersebut, maka hal ini menarik untuk diteliti hakikat dan pentingnya Peraturan
Daerah sebagai instrumen hukum penyelenggaraan otonomi daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Sejaumana esensi dan urgensi Peraturan Daerah telah
mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah?
2. Sejauhmana materi muatan Peraturan Daerah telah mencerminkan
muatan yang khas pada suatu daerah otonom?
3. Bagaimanakah implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara
vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui esensi dan urgensi Peraturan Daerah yang
mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah
2. Untuk mengetahui materi muatan Peraturan Daerah yang
mencerminkan muatan yang khas pada suatu daerah otonom.
3. Untuk mengetahui implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara
vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya
6 D. Manfaat Penelitian
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pembangunan Hukum dan Pengawasan Terhadap Produk Hukum
Daerah terutama dalm fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Republik Indonesia.
2. Dengan penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi pembuat
kebijakan dalam pembangunan Hukum dan Pengawasan terhadap
Produk Hukum Daerah.
7 BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Pemerintahan Daerah
1. Pengertian dan Landasan Hukum Pemerintahan Daerah
Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
dikatakan bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut B.C. Smith (1985:19) dalam konteks demokrasi, local
government atau pemerintahan daerah dapat dikaji dalam dua dua kategori
utama yaitu:
There are that claim local government is good for national democracy;
and there are those where the major concern is with the benfits to the
locality of local democracy. Each can be further subdivided into three
sets of interrelated values. At the national level these values relate to
political education, training in leadership and political stability. At the
local level the relevant values are equality, liberty and responsiveness.
Menurut Sri Soemantri (1987: 65) pembagian kekuasaan dalam
negara yang berbentuk Kesatuan, seperti Indonesia, asasnya adalah seluruh
kekuasaan dalam negara berada di tangan pemerintah pusat. Walaupun
8 demikian hal itu tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada di tangan
pemerintah pusat, karena ada kemungkinan mengadakan dekonsentrasi
kekuasaan ke daerah lain dan hal ini tidak diatur dalam konstitusi. Hal ini
berbeda dengan negara kesatuan yang bersistem desentralisasi. Dalam
konstitusi negara tersebut terdapat suatu ketentuan mengenai pemencaran
kekuasaan tersebut (desentralisasi).
Secara yuridis formal, landasan hukum dari penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia adalah Pasal 18 UUD 1945 yang
mengamanatkan beberapa hal yaitu:
1. Bahwa negara Republik Indonesia terdiri atas daerah provinsi, daerah
provinsi terdiri atas daerah kabupaten dan kota yang mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang;
2. Pemerintah daerah tersebut baik propinsi maupun kabupaten dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan;
3. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.
9 Ada beberapa pengertian tentang pemerintahan daerah atau lokal
yang dapat dirujuk, diantaranya G.M. Harris (Dalam Martin Junung : 2000)
dalam bukunya Comparative Local Government mengatakan bahwa:
"The term local government may have one of two meanings, it may
signify: (1) the government of all part of a country by means of local
agents appointed and responsible only to the central government. This
is part of centralized system and my he called local state government.
(2) Government by local baddies, feely elected wich while subjected to
the supremacy of national government are endowed in some respect
with power, discreation and responsibility, wich they can exercise
without control cover their decision by the higher authority, this is
called in many countries as communal autonomy.'
De Guman dan Tapales (dalam Josef Riwu, 1998: 43) tidak
mengajukan suatu batasan apapun tentang pemerintahan daerah, hanya
mereka menyebutkan lima unsur pemerintahan lokal sebagai berikut:
1. A local government is a political sub division of soverign nation or
state.
2. It is constituted by law.
3. It has governing body which is locally selected.
4. Undertakes role making activities.
5. It perform service within its jurisdiction.
Sementara itu Josef Riwu Kaho (1998: 67) mendefinisikan local
government sebagai berikut :
Bagian dari pemerintah suatu negara atau bangsa yang berdaulat
yang dibentuk secara politis berdasarkan undang-undang yang
10 memiliki lembaga atau badan yang menjalankan pemerintahan yang
dipilih masyarakat daerah tersebut, dan dilengkapi dengan
kewenangan untuk membuat peraturan, memungut pajak serta
memberikan pelayanan kepada warga yang ada di dalam wilayah
kekuasaannya.
Dalam sejarahnya, di Indonesia pernah dikenal istilah daerah
swatantra, yang sekarang ini dikenal dengan pemerintahan daerah.
Pemerintahan umum pusat di daerah pada masa kemerdekaan disebut
pamong praja, masa Belanda dipanggil dengan Binnenlandsbestuur,
Bestuurdiants, pemerintahan pangreh, praja. Pemerintahan khusus pusat di
daerah disebut jwatan atau dinas pusat di daerah atau dinas vertikal. Jadi
pemerintahan lokal tidak sama dengan pemerintahan daerah. Pemerintahan
lokal meliputi pamong praja, jawatan vertikal dan pemerintahan daerah.
Undang-undang No.32 Tahun 2004 mengartikan pemerintah daerah
sebagai kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai
badan eksekutif daerah. Daerah otonom menurut undang-undang ini adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
negara Republik Indonesia.
11 2. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Dalam pelaksanaan otonomi, dikenal tiga bentuk asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni :
a. Asas Desentralisasi
Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin yaitu
decentrum yang berarti terlepas dari pusat. Menurut Inu Kencana Syafie
(dalam Hamzah: 2008: 135) desentralisasi adalah perlawanan kata dari
sentralisasi, karena penggunaan kata “de” dimaksudkan sebagai penolakan
kata sesudahnya. Menurut Inu, Desentralisasi adalah:
Penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan
peraturan perundang-undangan maupun penyelenggaraan
pemerintahan itu sendiri, dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah
daerah tersebut.
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang
pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem
sentralisasi, kewenangan pemrintah baik dipusat maupun didaerah,
dipusatkan dalam tangan pemerintah pusat. Pejabat-pejabat di daerah hanya
melaksanakan kehendak pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi,
sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain
untuk dilaksanakan. Menurut Hamzah (2008: 137) pentingnya desentralisasi
pada esensinya agar persoalan yang kompleks dengan dilatarbelakangi oleh
12 berbagai faktor heterogenitas dan kekhususan daerah yang melingkunginya
seperti budaya, agama, adat istiadat, dan luas wilayah yang jika ditangani
semuanya oleh pemerintah pusat merupakan hal yang tidak mungkin akibat
keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki pemerintah pada hampir semua
aspek. Namun sebaliknya adalah hal yang tidak realistis jika semua
didesentralisasikan kepada daerah dengan alasan cerminan dari prinsip
demokrasi, oleh karenanya pengawasan dan pengendalian pusat kepada
daerah sebagai cerminan dari sentralisasi tetap dipandang mutlak sepanjang
tidak melemahkan atau bahkan memandulkan prinsip demokrasi itu sendiri.
Menurut Hans Kelsen, pengertian desentralisasi berkaitan dengan
pengertian negara karena negara itu merupakan tatanan hukum (legal order),
maka pengertian desentralisasi itu menyangkut berlakunya sistem tatanan
hukum dalam suatu negara. Ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah
untuk seluruh wilayah negara yang disebut kaidah sentral (central norms) dan
ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian
wilayah yang berbeda yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or
local norms). Jadi apabila berbicara tentang tatanan hukum yang
desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan dengan lingkungan (wilayah)
tempat berlakunya tatanan hukum yang sah tersebut.
Dennis A. Rondinelli dan Cheema (dalam Hamzah: 142)
merumuskan definisi desentralisasi dengan lebih merujuk pada perspektif
13 yang lebih luas namun tergolong perpektif administrasi, bahwa desentralisasi
adalah:
The transfer of planning, decision making, or administrative authority
from central government to its field organizations, local administrative
units, semi autonomous and parastatal organizations, local
government, or local non-government organization.
Definisi ini tidak hanya mencakup penyerahan dan pendelegasian wewenang
di dalam struktur pemerintahan, tetapi juga telah mengakomodasi
pendelegasian wewenang kepada organisasi non pemerintah (LSM).
b. Asas Dekonsentrasi.
Henry Maddick (1966:23) membedakan antara desentralisasi dan
dekonsentrasi dengan menyatakan bahwa desentralisasi merupakan
“pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang
spesifik maupun risudal yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.”
Sementara dekonsentrasi merupakan:
The delegation of authority equate for the discharge of specified
functions to staff of a central department who are situated outside the
headquarters.
Sementara menurut Parson (dalam Hamzah: 2008: 142), dekonsentrasi
adalah:
The sharing of power between members of same ruling of group
having authority respectively in different areas of tha state.
14 Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia selain didasarkan
pada asas desentralisasi juga didasarkan pada asas dekonsentrasi, hal ini
dapat dilihat dari rumusan Pasal 18 ayat (5) UUD RI 1945 yang menyatakan
bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat. Dekonsentrasi dapat diartikan sebagai distribusi
wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan.
Urusan pemerintah pusat yang perlu diselenggarakan oleh perangkat
pemerintah pusat sendiri, sebetulnya tercermin dalam pidato Soepomo di
hadapan BPUPKI tanggal 31 Mei dengan mengatakan (M. Yamin; 1959 :
118):
"Maka dalam negara Indonesia yang berdasar pengertian negara
integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang
mempunyai keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan
kedudukan sendiri sebagai bagian organik dari negara seluruhnya.
Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh Pemerintah Pusat
dan soal apakah yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah,
baik daerah besar maupun daerah kecil, itu semuanya tergantung
dari pada "doellmatigheid" berhubungan dengan waktunya, tempat
dan juga soalnya."
Dalam pengertian yang lain, Amrah Muslimin menafsirkan
dekonsentrasi sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pejabat-pejabat bawahan dalam lingkungan administrasi sentral,
yang menjalankan pemerintahan atas nama pemerintah pusat, seperti
15 gubernur, walikota dan camat. Mereka melakukan tugasnya berdasarkan
pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah
pusat yang berada di daerah.
Mengenai dekonsentrasi, Bagir Manan berpendapat bahwa
dekonsentrasi sama sekali tidak mengandung arti bahwa dekonsentrasi
adalah sesuatu yang tidak perlu atau kurang penting. Dekonsentrasi adalah
mekanisme untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah. B. Hestu
Cipto Handoyo dan Y.Thresianti (2005: 92) memberikan pengertian berbeda
mengenai dekonsentrasi, menurutnya dekonsentrasi pada prinsipnya adalah
merupakan manifestasi dari penyelenggaraan pemerintahan negara yang
mempergunakan asas sentralisasi, menimbulkan wilayah-wilayah
administratif yang tidak mempunyai urusan rumah tangga sendiri,
merupakan manifestasi dari penyelenggaraan tata laksana pemerintah
pusat yang ada di daerah.
c. Asas Tugas Pembantuan
Daerah otonom selain melaksanakan asas desentralisasi juga dapat
diserahi kewenangan untuk melaksanakan tugas pembantuan (medebewind).
Tugas pembantuan dalam pemerintahan daerah adalah tugas untuk ikut
melaksanakan peraturan perundang-undangan bukan saja yang ditetapkan
16 oleh pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah tingkat atasnya.
Menurut Irawan Soejito (1981: 117), tugas pembantuan itu dapat
berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas
eksekutif (beschikken). Daerah yang mendapat tugas pembantuan diwajibkan
untuk mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan. Amrah Muslim
menafsirkan tugas pembantuan (medebewind) adalah kewenangan
pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari pemerintah
pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Sementara itu,
Bagir Manan mengatakan bahwa pada dasarnya tugas pembantuan adalah
tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (de
uitvoering van hogere regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan
perundang-undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen)
dalam rangka tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu
dapat dijadikan semacam “terminal” menuju penyerahan penuh suatu urusan
kepada daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai
persiapan menuju kepada penyerahan penuh. Bidang tugas pembantuan
seharusnya bertolak dari :
a. Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi dengan
demikian seluruh pertanggungjawaban mengenai penyeleng-
17 garaan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang
bersangkutan.
b. Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas
pembantuan. Dalam tugas pembantuan terkandung unsur
otonomi (walaupun terbatas pada cara melaksanakan), karena itu
daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri caracara melaksanakan tugas pembantuan.
c. Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, mengandung
unsur penyerahan (overdragen) bukan penugasan (opdragen).
Perbedaannya, kalau otonomi adalah penyerahan penuh
sedangkan tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh.
B. Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang
berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan
demikian, otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan dan
kemandirian. Otonomi daerah berarti kebebasan dan kemandirian daerah
dalam menentukan langkah-langkah sendiri (Widarta, 2001:2).
18 Pengertian otonomi dapat juga ditemukan dalam literatur Belanda, di
mana otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van
Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat undang-undang sendiri),
zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri)
dan zelfpolitie (menindaki sendiri). (Sarundajang, 1999:35).
Sarundajang (1999:35) menyatakan bahwa otonomi daerah pada
hakekatnya adalah:
a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak
tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusang-urusan
pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri
dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti
keotonomian suatu daerah;
b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah
tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang
otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya;
c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang
diserahkan kepadanya;
19 d. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah lain.
2. Tujuan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari keberadaan
Pasal 18 UUD RI 1945. Pasal tersebut yang menjadi dasar penyelenggaraan
otonomi dipahami sebagai normatifikasi gagasan-gagasan yang mendorong
pemakaian otonomi sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan
pemerintahan daerah. Otonomi yang dijalankan tetap harus memperhatikan
hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa (Bagir
Manan,1993:9).
Sejalan dengan hal tersebut, Soepomo mengatakan bahwa otonomi
daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut
riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri dalam kadar negara kesatuan. Tiap
daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan
sifat daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala
urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu
model (H. Rozali Abdullah, 2000:11).
20 Tujuan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Sarundajang,
1993:36):
a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi
dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri,
maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam
rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah.
b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama
dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan
memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan
masyarakat.
c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta
menumbuhkan kemandi rian masyarakat, dengan melakukan
usaha pemberdayaan (empowerment) masyarakat, sehingga
masyarakat makin mandiri, dan tidak terlalu banyak tergantung pada
pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam
proses penumbuhannya.
d. Dari segi ekonomi pembangunan, adalah untuk melancarkan
pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya
kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.
21 Martin Jimung (2005:43) mengemukakan bahwa tujuan utama otonomi
daerah pada era otonomi daerah sudah tertuang dalam kebijakan
desentralisasi sejak tahun 1999 yakni:
a. Pembebasan pusat, maksudnya membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban tidak perlu menangani urusan domestik sehingga ia
berkesempatan mempelajari, memahami, merespons berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat
yang sama sangat diharapkan pemerintah pusat lebih mampu
berkonsentrasi pada kebijakan makro nasional dari yang bersifat
strategis.
b. Pemberdayaan lokal atau daerah
Alokasi kewenangan pemerintah pusat ke daerah maka daerah akan
mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Artinya ability
(kemampuan) prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu sehingga
kapasitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin
kuat.
c. Pengembalian trust (kepercayaan) pusat ke daerah
22 Desentralisasi merupakan simbol lahirnya kepercayaan dari pemerintah
pusat ke daerah. Hal ini dengan sendirinya mengembalikan kepercayaan
kepada pemerintah dan masyarakat daerah.
C. Peraturan Daerah sebagai Produk Hukum Daerah
1. Materi Muatan Peraturan Daerah
Materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
(medebewind), menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 12 UU. No. 10
Tahun 2004).
Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah propinsi, kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Peraturan daerah
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136 ayat 2, 3 dan 4
UU. No. 10 Tahun 2004). Di samping itu, peraturan daerah juga dapat
memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum
seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar, dan dapat memuan ancaman
pidana perupa pidana kurungan.
23 Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No. 10
Tahun 2004 maka dapat dikemukakan bahwa materi muatan peraturan
daerah meliputi :
a. Peraturan daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan otonomi
daerah dengan memperhatikan\kondisi khusus atau ciri khas daerah
masing-masing.
b. Peraturan daerah tentang pelak-sanaan atau penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
c. Peraturan daerah tentang pelaksanaan tugas pembantuan.
2 . Kedudukan Peraturan Daerah
Berkaitan dengan kedudukan peraturan daerah, Pasal 7 ayat (2) UU
No. 10 Tahun 2004 menegaskan sebagai berikut:
a. Peraturan Daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah propinsi bersama dengan gubernur.
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/kota bersama dengan bupati/ walikota.
24 c. Peraturan desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan
Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa
atau nama lainnya.
Kemudian dalam Pasal 12 ditegaskan, bahwa materi
muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Di dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal
136 ditegaskan Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD. Peraturan Daerah dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah propinsi/ kabupaten, kota dan
tugas pembantuan. Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan Daerah dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Materi muatan peraturan desa/yang setingkat
adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau
yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
25 yang lebih tinggi. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat
dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memberikan ruang lingkup
urusan pemerintahan yang sangat luas (kewenangan) kepada daerah untuk
menuangkannya dalam peraturan daerah. Ketentuan tersebut mengharuskan
para pejabat di lingkungan pemerintah daerah yang ditugaskan untuk
merancang sebuah peraturan daerah untuk mengetahui dan mempelajari
berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang terkait
dengan substansi rancangan peraturan daerah. Penelitian dan kajian yang
mendalam terhadap substansi peraturan yang lebih tinggi sangat membantu
DPRD dan gubernur/bupati/walikota dalam menetapkan peraturan daerah
dengan kualitas yang baik dan sekaligus menghindari kemungkinan
"pembatalan Peraturan Daerah" oleh Pemerintah dan menyebabkan DPRD
dan kepala daerah menetapkan Peraturan Daerah tentang pencabutan
Peraturan Daerah.
Dari segi pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah baik
Peraturan Daerah propinsi maupun Peraturan Daerah kabupaten atau kota,
dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti semata-mata
merupakan produk hukum lembaga legislatif. Namun demikian, dari segi
isinya, kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup
26 daerah berlaku yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih
rendah dibandingkan peraturan dengan ruang lingkup wilayah berlaku yang
lebih luas. Dengan demikian, undang-undang menjadi lebih tinggi
kedudukannya daripada Peraturan Daerah propinsi, dan Peraturan Daerah
kabupaten atau Peraturan Daerah kota dan sesuai prinsip hierarki peraturan
perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah itu tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi, maka Peraturan
Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya.
Menurut Bagir Manan, mengingat bahwa Peraturan Daerah (termasuk
peraturan desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom),
dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh
semata-mata berdasarkan "pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan
wewenangnya". Suatu Peraturan Daerah yang bertentangan dengan suatu
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum
tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat yang
lebih tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD
atau UU Pemerintahan Daerah (Jazim Hamidi, 2008:35).
27 Fungsi peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan dan
Kuntana Magnar (1997142-144), merupakan fungsi internal dan fungsi
eksternal, dari peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Daerah,
yaitu:
1. Fungsi Stabilitas.
Peraturan Daerah berfungsi di bidang ketertiban dan keamanan adalah
kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat di
daerah. Kaidah Stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti
pengaturan kerja,upah,pengaturan tata cara perniagaan, dan lain-lain.
Demikian pula, di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula
berfungsi menstabilkan sistem sosial budaya yang telah ada.
2. Fungsi Perubahan
Peraturan Daerah diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan
masyarakat dan juga aparatur pemerintahan, yang baik yang berkenaan
dengan tata kerja, mekanisme kerja maupun kinerjanya itu sendiri. Dengan
demikian, Peraturan Daerah berfungsi sebagai sarana pembaharuan (law as
social engineering,ajaran Roscoe Pound)
3. Fungsi Kemudahan
Peraturan Daerah dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur
berbagai kemudahan (fasilitas). Peraturan Daerah yang berisi ketentuan
28 tentang perencanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam
penanaman modal, dan berbagai ketentuan ”insentif” lainnya merupakan
contoh dari kaidah-kaidah kemudahan.
4. Fungsi Kepastian Hukum.
Kepastian Hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupakan asas
penting yang terutama berkenaan dengan tindakan hukum (rechtshandeling)
dan penegakan hukum (rechtshanhaving, echtsuitvoering). Kepastian hukum
Peraturan Daerah tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang
tertulis. Oleh karena itu, membentuk Peraturan Daerah yang diharapkan
benar-benar menjamin kepastian hukum, harus memenuhi syarat-syarat:
jelas dalam perumusannya, konsisten dalam perumusannya, dan
menggunakan bahasa yang tepat serta mudah dimengerti.
Peraturan perundang-undangan yang berkarakter responsif apabila
pembuatannya sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat,
oleh karenanya materi muatannya merekam perkembangan masyarakat.
Dalam kaitan itu, maka kesempurnaan Peraturan Daerah yang akan dibuat
di daerah, disamping memenuhi aspek yuridis, juga memperhatikan aspek
filosofis, sosiologis, dan aspek politis. Terakomodasinya semua aspek
tersebut sebagai dasar pemikiran yang melandasi pembuatan peraturan
perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah
29 akan terhindar dari adanya pencabutan dan pembatalan dari pemerintah
pusat, dan Peraturan Daerah akan berlaku secara efektif dan sesuai tujuan
yang diharapkan.
Rosjidi Ranggawidjaja (1998: 43) menegaskan, bahwa suatu
peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus
memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan
landasan yuridis, bahkan ada yang menambahkannya landasan politis.
Materi muatan Peraturan Daerah yang menyimpang dari landasan yuridis,
mengakibatkan Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah
karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah yang tidak sesuai dengan
aspek filosofis dan aspek sosiologis dapat menimbulkan reaksi dari
masyarakat, sehingga menuntut Peraturan Daerah bersangkutan untuk
dicabut. Akibat lebih jauh, masyarakat tidak akan mematuhi keberlakuan
Peraturan Daerah tersebut.
Dengan demikian, landasan perundang-undangan yang menjadi pusat
perhatian dalam pembentukan Peraturan Daerah yaitu :
1. Landasan Filosofis (Filosofische Grongslag)
Filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa tiada lain berisi nilainilai moral atau etika yang pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang
30 tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung
tinggi tinggi dari suatu daerah tertentu. Di dalamnya ada nilai kebenaran,
keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.
Peraturan Daerah yang baik harus berdasarkan pada semua itu. Semua nilai
yang ada di Indonesia terakumulasi dalam Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa.
Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofishe
grondslang) apabila rumusannya atau normanya mendapat pembenaran
(rechtsvaardiging) dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai alasan yang
dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik. Misalnya,
menganiaya hewan sebelum disembelih untuk keperluan suatu pesta adat
(paham yang berakar dari living law). Jika larangan ini dikuatkan melalui
Peraturan Daerah, maka ia memperoleh landasan filosofis.
2. Landasan Sosiologis (Sociologische Grondslag)
Suatu Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan sosiologis
apabila ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran
hukum masyarakat. Hal ini penting agar Peraturan Daerah yang dibuat ditaati
oleh masyarakat, tidak menjadi huruf mati belaka. Hal ini berarti bahwa
Peraturan Daerah yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai
dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada prinsipnya,
31 hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law)
dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan
kesadaran masyarakat tidak aka nada artinya, tidak mungkin dapat
diterapkan karena tidak dipatuhi dan ditaati. Misalnya Peraturan Daerah
Perizinan tentang Prostitusi.
3. Landasan Yuridis (Juridsche Grondslag)
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar
kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan Peraturan Daerah.
Apakah kewenangan seseorang pejabat atau badan mempunyai dasar
hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.
Dasar hukum kewenangan membentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan.
Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan
peraturan karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat
peraturan, adanya kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk
menghindari peraturan itu batal demi hukum dan agar tidak bertentangan
dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian,
landasan yuridis merupakan dasar hukum ataupun legalitas landasan yang
terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya.
4. Landasan Politis
32 Landasan politis adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar
selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan
ketatalaksanaan pemerintahan Negara. Oleh karena garis politik yang
dimaksud adalah GBHN, dan hal itu sudah termasuk dalam landasan yuridis,
mengingat GBHN sesuai Tap MPR Nomor III/2000 merupakan salah satu
jenis peraturan perundang-undangan. Keseluruhan landasan tersebut,
menjadi dasar pertimbangan lahirnya rancangan UU, termasuk Peraturan
Daerah. Jadi, mencakup bagian-bagian “menimbang,mengingat, dan
memperhatikan”, bahkan menurut Solly Lubis (1977:56) termasuk di sini
dasar-dasar pertimbangan dari segi keserasian dengan hukum yang berlaku
(rechtmatigheid).
D. Landasan Teoritis
1. Teori Perundang-undangan
Secara etimologi, perundang-undangan, merupakan terjemahan
“wetgeving”, “gesetzgebung”, yang mengandung dua arti. Pertama, berarti
proses pembentukan peraturan-peraturan negara sejenis yang tertinggi
sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi
33 kekuasaan perundang-undangan. Kedua, berarti keseluruhan produk
peraturan-peraturan negara tersebut.
Peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum dibuat
dengan maksud untuk dipatuhi oleh masyarakat atau dengan kata lain untuk
efektid atau hukum tersebut berperan sesuai fungsinya. Soerjono Soekanto
dalam Achmad Ruslan (2006:51) mengatakan bahwa untuk dapat
mewujudkan fungsi dari perundang-undanagn maka ada 3 (tiga) kriteria yang
harus dipenuhi:
1. Bila hukum hanya berlaku secara yuridis maka kemungkinan besar
kaidahnya hanya merupakan kaidah yang mati (dode regel).
2. Jika hukum hanya berlaku secara sosiologis maka mungkin hukum berlaku
sebagai hanya sebagai aturan pemaksa
3. Jika hukum hanya berlaku secara filosofis maka mungkin hukum itu hanya
akan menjadi hukum yang dicita-citakan
Terkait dengan pembentukan perundang-undangan, Burkhartds
Krems dalam Achmad Ruslan (2006:51) mengemukakan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi dua hal pokok yaitu
kegiatan pembentukan isi dan kegiatan pemenuhan bentuk peraturan. Kedua
kegiatan tersebut dilakukan secara serentak dan setiap bagian harus
34 memenuhi persyaratan sendiri-sendiri sehingga agar suatu peraturan
perundang-undangan dapat efektif maka pembuatannya harus menggunakan
dasar pemikiran yuridis, sosiologis dan filosofis.
Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 asas-asas yang
berlaku dalam peraturan perundang-undangan dibagi menjadi 3 bagian yaitu
(Achmad Ruslan, 2006:13):
a. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
b. Asas yang berkaitan dengan materi muatan peraturan perundangundangan
c. Asas lain yang sesuai dengan bidang hukum peraturan perundangundangan yang bersangkutan.
Asas yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik meliputi (Achmad Ruslan, 2006:14):
a. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai;
b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap
jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat lembaga/pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang baik di
tingkat pusat maupun tingkat daerah;
35 c. Asas kesesuaian antara jenis dan muatan adalah bahwa pembentukan
peraturan perundang-undangan dengan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan;
d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan keberlakuan atau dapat
dilaksanakannya peraturan tersebut dalam masyarakat baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis;
e. Asas daya guna dan hasil guna adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
akan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan perundangundangan, sistematika, pilihan kata atau terminology, bahasa hukumnya
jelas dan mudah dimenegrti sehingga tidak menimbulkan berbagai
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas keterbukaan adalah bahwa proses pembentukan peraturan
perundang-undanganmulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
36 Asas yang dikandung dalam materi muatan peraturan perundangundangan (Achmad Ruslan, 2006:15):
a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat;
b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) serta harkat dan martabat
setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
c. Asas kebangsaan adalah setiap materi muatan perundang-udangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah mencapai
mufakat dalam pengambilan keputusan kecuali tidak tercapai maka
dilakukan voting yang harus tetap dijaga dalam semangat
kekeluargaan;
e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi peraturan
37 perundang-undangan merupakan bagian dari seluruh sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
f. Asas bhineka tunggal ika adalah setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku,golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah sensitif dalm kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
g. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali;
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan latar belakang
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.;
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum;
j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselaran adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara
38 kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa
dan Negara.
Selain asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik sebagaimana diuraikan di atas berlaku pula asas-asas antara lain : asas
tata urutan/susunan hirarki peraturan. Asas ini berasal dari teorinya Hans
Kelsen dan Hans Nawiasky kemudian diadopsi (secara tersirat) ke dalam
Pasal 7 ayat (4) dan (5) Undang-undang No. 10 tahun 2004 yang
menentukan bahwa :
(4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai
hirarki sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
penjelasannya.
Dalam aturan ini secara tegas dinyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan tingkat bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Asas tersebut diadopsi dari
teori jenjang norma hukum (stufen theory). Selain itu, asas hukum umum
yang secara khusus dapat diterapkan dalam pembentukan perundangundangan adalah asas lex specialist derogate lex generali (peraturan
perundang-undangan yang khusus mengesampingkan peraturan perundang-
39 undangan yang bersifat umum), asas lex posteriori derogate lex priori
(peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan perturan
perundang-undangan yang lama), lex superior derogate lex inferiori
(peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mnegasampingkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah).
2. Teori Desentralisasi
a. Konsep Desentralisasi
Secara umum ada dua jenis desentralisasi yaitu dekonsentrasi dan
desentralisasi demokratik (Democratic decentralization). Dekonsentrasi
adalah suatu proses di mana departemen pusat menyerahkan fungsi dan
tugas khusus pada pejabat lapangan di daerah-daerah. Wewenang dan
otoritas anggaran dan administrasi tetap berada di pemerintah pusat.
Otonomi pada periode Orde Baru lebih banyak berbentuk dekonsentrasi,
sedangkan pada pasca Orde Baru sekarang ini, otonomi daerah
dimaksudkan berbentuk desentralisasi demokratik. Prinsip desentralisasi
demokratik adalah bahwa pemerintah lokal bertanggung jawab pada
warganya melalui pemilu yang teratur ataupun melalui mekanisme yang lain
seperti pers bebas dan masyarakat madani (civil society) yang matang.
Dalam kerangka ini otonomi daerah saat ini hanya mungkin berkembang
40 dalam konteks tata pemerintahan nasional yang baik (national democratic
governence).
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam pemerintahan
merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi,
kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam
tangan pemerintah pusat. Pejabat-pejabat di daerah hanya melaksanakan
kehendak pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi, sebagian
kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk
dilaksanakan. Pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk
dilaksanakan disebut desentralisasi (Soejito, dalam Sarundajang, 1999:45).
Dalam Encyclopedia of the Sosial Sciences disebutkan bahwa "the
proces of decentralization denotes the transference of authority, legislative,
judicial or administrative, from higher level of government to a lower. " Artinya
desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang
lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut
bidang legislatif, judikatif maupun administratif. Dalam ensiklopedi tersebut,
juga dikemukakan bahwa desentralisasi adalah kebalikan dari sentralisasi,
tetapi tidak baleh dikacaukan dengan pengertian deconcentration, sebab
istilah ini secara umum lebih diartikan sebagai pendelegasian dari atasan
kepada bawahannya, untuk melakukan suatu tindakan atas nama alasannya,
41 tanpa melepaskan wewenang dan tanggung jawab atasannya.(Sarundajang,
1999:46).
Van Der Pot membagi desentralisasi menjadi dua yaitu
desentraliasasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial
adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya masing-masing (otonom). Bentuk dari desentralisasi adalah
otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Desentralisasi fungsional
adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau
beberapa kepentingan tertentu. Di dalam jenis desentralisasi ini dikehendaki
agar kepentingan-kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongangolongan yang bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hal ini
hanyalah memberikan pengesahan atas segala sesuatu yang telah
ditetapkan oleh golongan kepentingan tertentu (Hestu Cipto Handoyo &
Thresianti, 2000:88).
Koesoemahatmadja dalam Hestu Cipto Handoyo & Thresianti
(2000:88) menyatakan bahwa desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam,
yaitu :
1) Dekonsentrasi (deconcentratie) atau amhtelijke decentralisatie, adalah
pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas
kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas
42 pemerintahan. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat tidak
diikutsertakan.
2) Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) atau
desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan
pemerintahan (regelende en bestuurende hevoegheid) kepada daerahdaerah otonom di dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi politik ini,
rakyat dengan mempergunakan saluran-saluran tertentu (perwa-kikin)
ikut serta di dalam pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan dibagi
lagi menjadi dua bagian, yaitu Desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah masing-masing (otonom) dan desentralisasi
fungsional (functionate decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan
untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan
tertentu. Dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar
kepentingan-kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongangolongan yang bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam
hubungan ini hanyalah memberikan pengesahan atas segala sesuatu
yang telah ditetapkan oleh golongan-golongan kepentingan tersebut.
Riggs dalam Pipin Syarifin dan Dedan Jubaedah (2005:89) bahwa
desentralisasi mempunyai dua makna, yaitu sebagai pelimpahan wewenang
43 (delegation) dan pengalihan kekuasaan (devolution). Delegation mencakup
penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan
berdasar kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap berada ditangan
pusat (kadang-kaang disebut juga dekonsen-trasi). Sedangkan devolution
mempunyai makna yang hcrbeda, di mana seluruh tanggung jawab untuk
kegiatan tertentu diserahkan penuh kepada penerima wewenang.
Irawan Soejito (1981:21) membedakannya menjadi tiga yakni
desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi
administratif (dekonsentrasi). Philipus M. Hadjon (1993:111) mengemukakan
pengertian desentralisasi sebagai berikut :
Desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintah tidak semata-mata
dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh
satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk
satuan teritorial maupun fungsional. Satua-satuan pemerintahan yang
lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan diabiarkan
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.
b. Mekanisme Desentralisasi
Sarundajang (1999:54) mengemukakan bahwa ada beberapa
mekanisme pelaksanaan desentralisasi yaitu :
44 1. Multi purpose Lokal Authorities yaitu sistem pemerintahan daerah yang
menyeluruh dalam hal ini pelayanan pemerintah di daerah dilaksanakan
oleh aparat-aparat yang mempunyai tugas bermacam-macam. Aparat
daerah melakukan fungsi-fungsi yang diserahkan oleh perintah pusat.
Kesempatan berprakarsa atau berinisiatif untuk melakukan pengawasan
atas semua bagian terbuka bagi aparat daerah maupun bagi aparat pusat.
Aparat daerah melakukan pelayanan tugas-tugas aparat pusat seperti:
agraria, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan umum. Sistem ini
terdapat di Yugoslavia, India, Pakistan dan Mesir yaitu negara dimana
terjadi pemindahan atau transformasi tugas-tugas dari aparat pusat
kepada aparat daerah.
2. Partnership System, yaitu beberapa jenis pelayanan dilaksanakan
langsung oleh aparat pusat dan beberapa jenis yang lain pula dilakukan
oleh aparat daerah. Aparat daerah melakukan beberapa fungsi dengan
beberapa kebebasan tertentu pula. Beberapa kegiatan lain dilakukan juga
oleh aparat daerah tetapi atas nama aparat pusat atau di bawah
bimbingan teknik aparat pusat. Sistem ini menggunakan aparat pusat dan
aparat daerah secara terpisah dalam melakukan segala kegiatan, namun
juga dapat melakukan bersama-sama sesuai kebutuhan dan keadaan;
45 aparat pada tingkat bawah biasanya dikoordinasikan dengan aparat
daerah. Sistem ini terdapat di negara Afrika yang berbahasa Inggris.
3. Dual System, yaitu aparat pusat melaksanakan pelayanan teknis secara
langsung demikian juga aparat daerah. Apa yang dilakukan aparat daerah
tidak boleh lebih dari apa yang telah digariskan menjadi urusannya.
Biasanya dengan sistem ini sering terjadi pertentangan aparat pusat
dengan aparat daerah. Aparal daerah dengan peraturan dalam sistem ini
lebih merupakan alat politik daripada alat pembangunan. Sistem ini
terdapat di Amerika Latin. Dalam sistem ini tidak terdapat aparat untuk
melakukan koordinasi.
4. Integrated Administrative System, yaitu aparat pusat melakukan
pelayanan teknis secara langsung di bawah pengawasan seorang pejabat
koordinator. Aparat daerah hanya punya kewenangan kecil dalam
melakukan kegiatan pemerintahan. Sistem ini kebanyakan terdapat di
Tiinur Tengah dan Asia Tenggara.
3. Teori Kearifan Lokal
a. Pengertian Kearifan Lokal
Dalam uraiannya, Saini (2005) mengulas bahwa kearifan lokal dalam
bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local
46 wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan
setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan
kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan
jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya
tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain
kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis,
historis, dan situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal atau sering disebut
local wisdom dapat dapat pula dipahami sebagai usaha manusia dengan
menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap
sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian
di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai
kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak
atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi. Sebagai sebuah istilah, wisdom sering diartikan sebagai
‘kearifan/kebijaksanaan’. Local secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang
interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan
suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia
dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain disebut
settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat
menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah
47 setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi
nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka
atau menjadi acuan tingkah-laku mereka (Sarlito Wirawan, 1992:6).
b. Wujud Kearifan Lokal
Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2009) mengatakan bahwa akhir dari
sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama.
Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian,
pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat
dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam
kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama.
Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan
kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak
terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka seharihari.
48 BAB III
METODE PENELITIAN HUKUM
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang esensi dan urgensitas Peraturan
Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah melalui metode penelitian
normatif yang berpangkal pada pendekatan pendekatan perundangundangan (statute approach) yaitu dengan mengkaji dan menganalisis
keterhubungan antara Peraturan Daerah dan beberapa undang-undang yang
berkaitan dan relevan dengan topik masalah yang akan diteliti. Dalam
konteks penelitian hukum, pengkajian ini dapat digolongkan sebagai
penelitian normatif-doktrinal dengan pendekatan konseptual (conseptual
approach). Melalui pendekatan konseptual, peneliti akan merujuk pada
prinsip-prinsip hukum yang dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan
sarjana atau doktrin-doktrin hukum. Metode analisis yang digunakan adalah
metode analisis krisis (critical analysis) melalui pendekatan analisis
komprehensif (comprehensive analysis). Pendekatan tipe ini adalah peneliti
mengungkapkan tidak hanya segi ketidaksempurnaan, tetapi juga segi
keunggulan (secara filosofis, sosiologis, dan yuridis) dan sekaligus
menawarkan solusi terhadap objek permasalahan yang dikaji.
49 B. Bahan Hukum
Penulisan hukum ini menggunakan 2 (dua) macam sumber hukum,
bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer digunakan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan antara lain UUD 1945, Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor
10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundangundangan.
b. Bahan Hukum Sekunder yang akan digunakan adalah buku-buku
hukum yang dibuat oleh scholar atau jurist dengan kualifikasi tinggi,
jurnal hukum dan makalah serta hasil penelitian.
c. Bahan Hukum Tertier, berupa kamus hukum, ensiklopedia dan
berita pada berbagai media massa.
C. Metode Analisis
Keseluruhan data yang diperoleh selama penelitian berangsung, baik
data primer, sekunder dan tertier, ditelaah dengan berdasarkan pada
kerangka teoretik kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis
kualitatif. Hasil penalaran dalam analisis kualitatif tersebut pada akhirnya
mendeskripsikan tentang berbagai kesimpulan untuk mengatasi
permasalahan yang menjadi objek penelitian.
50 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Esensi Peraturan Daerah Dalam Otonomi Daerah
Suatu negara yang memiliki wilayah geografis yang luas dengan
jumlah penduduk besar dan kompleksitas kepentingan yang sangat pluralis,
seperti Indonesia, tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistem
pemencaran dan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan
daerah. Hal ini memberikan konsekuensi terdapatnya hak dan kewajiban bagi
daerah di dalam wilayah negara untuk mengurus rumah tangganya sendiri
yang kemudian dikenal sebagai Daerah Otonom.
Sebagaimana amanat undang-undang, penyelenggaraan Otonomi
Daerah di Indonesia dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.
Di samping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
51 Untuk menunjang pelaksanaan kewenangan yang diberikan sebagai
daerah otonom, Daerah Provinsi, Kota dan Kabupaten, diberikan
kewenangan untuk menyelenggarakan sistem regulasi yang juga bersifat
otonom, yang dikenal dengan istilah Peraturan Daerah (Peraturan Daerah).
Hasil amandemen UUD 1945 telah menetapkan bahwa Peraturan Daerah
sebagai salah satu bentuk hukum peraturan perundang-undangan, yang
sebelumnya hanya diatur berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Mengingat landasan pijakannya bersumber dari Undang-Undang
Dasar, maka Peraturan Daerah harus mampu mengemban cita hukum
(rechtsidee) pembangunan hukum yang digariskan dalam UUD 1945 yang
mengacu pada tiga watak hukum, yaitu: hukum yang demokratis, hukum
yang berperikemanusiaan, dan hukum yang berkeadilan sosial. Ketiga watak
hukum ini telah sejalan dengan konsepsi dan idealitas hukum modern yang
kini tengah diperjuangkan di berbagai belahan bumi ini. Ketiga watak hukum
tersebut sepenuhnya mengacu pada kodrati manusia yang memiliki harkat,
martabat, kebebasan dan kesamaan.
Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan sesuatu
yang inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi
dari sistem Otonomi Daerah itu sendiri yang bersendikan kemandirian
(zefstandigheid) dan bukan merupakan suatu bentuk kebebasan suatu
satuan pemerintahan yang merdeka (onafhankelijkheid), Kemandirian itu
52 sendiri mengandung arti bahwa Daerah berhak mengatur dan mengurus
urusan rumah tangga pemeirntahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini
mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa
peraturan perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan
Daerah. Dengan semikian, kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah
menjadi sesuatu yang mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah,
dalam wadah negara kesatuan yang tetap menempatkan hubungan Pusat
dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen.
Dalam konsep otonomi daerah maupun daerah otonom terkandung
wewenang (fungsi) mengatur dan mengurus. Istilah mengatur dan mengurus
berasal dari istilah teknis hukum (yuridis) Hindia Belanda yang disebut
regelend dan bestuur. Dari segi hukum, mengatur berarti perbuatan
menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan biasanya bersifat
abstrak (tidak mengenai hal dan keadaan yang konkret), sedangkan
mengurus berarti perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku
individual dan bersifat konkret. Secara materiil, mengurus dapat berupa
memberikan pelayanan kepada orang atau badan tertentu dan/atau
melakukan pembangunan proyek-proyek tertentu (secara konkret dan
kasuistik).
53 Peraturan Daerah merupakan norma hukum yang materinya bersifat
mengatur dan berlaku umum, mengandung muatan abstrak, sehingga masih
memerlukan tindak lanjut dalam tataran operasionalnya. Dalam konteks ini,
Kepala Daerah dapat menetapkan Keputusan Kepala Daerah, sesuai dengan
pendelegasian yang bersumber dari pasal-pasal materi Peraturan Daerah
dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Bagir
Manan (1997: 123) menjelaskan ciri abstrak umum atau umum abstrak,
artinya tidak menhgatur atau tidak ditujukan pada objek, peristiwa atau gejala
konkret tertentu. Sebagai norma hukum Peraturan Daerah adalah
instrumen/sarana bagi pemerintah untuk mejalankan roda/aktivitas
pemerintahan, dan untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. Di
samping itu berfungsi sebagai pengarah, perekayasa dan perancangan, serta
pendorong perubahan dan perilaku warga masyarakat.
Pada hakikatnya, Peraturan Daerah merupakan keputusan dalam arti
luas, sebagai tujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan
kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial
dalam masyarakat dan mejaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di
daerah yang bersangkutan atas dasar keadilan, untuk mencapai
keseimbangan dan kesejahteraan umum. Djoko Prakoso (1985: 1) menulis
bahwa pada dasarnya Peraturan Daerah adalah sarana demokrasi dan
54 sarana komunikasi timbal balik antara Kepala Daerah dan masyarakat di
daerahnya.
Peraturan Daerah adalah kunci pokok dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah berdasarkan atas hukum, yang dalam UUD 1945 hasil
amandemen telah ditetapkan sebagai format kenegaraan yang secara tegas
disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, semua
aspek kehidupan kemasyarakatan, khususnya dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah (hubungan antara pemerintahan
daerah dan masyarakatnya) serta dalam hubungan antarsesama warga
masyarakat di daerah diatur atau harus berlandaskan Peraturan Daerah.
Oleh karena itu, Peraturan Daerah tidak lagi memerlukan pengesahan dari
otoritas lembaga negara pada Pemerintah Pusat sebagai wujud kemandirian
dan keotonomian. Dalam kaitan dengan itulah, luas lingkup materi Peraturan
Daerah terbatas hanya sepanjang yang menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga
pemerintahannya sendiri.
Dari segi fungsinya, Peraturan Daerah Provinsi adalah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat provinsi dan tugas pembantuan
(medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana
55 ditentukan dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di samping itu, fungsi
Peraturan Daerah Provinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang
fungsi anggaran dari DPRD Provinsi dalam rangka penetapan APBD,
perubahan dan perhitungan APBD dan pengelolaan keuangan daerah
provinsi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah sepenuhnya di tingkat kabupaten/kota
dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan
rakyat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Fungsi Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi
anggaran dari DPRD Kabupaten/Kota dalam rangka menetapkan APBD,
perubahan dan perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah.
Kabupaten/kota sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
56 Berdasar pada ketentuan di atas, tampak wewenang daerah begitu
luas untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Terlebih untuk daerah kabupaten dan daerah kota. Demikian luasnya
bidang/urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah kabupaten/kota
untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangganya, maka kepada
daerah diberlakukan prinsip otonomi yang seluas-luasnya terutama bagi
daerah kabuaten dan kota.
Dalam konteks ini ada dua makna esensial yang erkandung dalam
otonomi yang seluas-luasnya. Pertama, luasnya otonomi yang diberikan
kepada daerah tidak semata-mata diletakan pada banyaknya jumlah urusan
yang diserahkan kepada daerah, tetapi lebih terletak pada kemandirian
daerah itu sendiri. Dikatakan demikian, karena isi otonomi bukanlah
pembagian jumlah (quantum) urusan pemerintah antara pusat dan daerah.
Urusan pemerintahan tidak dikenali jumlahnya. Pembagian urusan, dalam arti
urusan yang diserahkan, harus dilihat dari sifat dan kualitasnya. Urusan
rumah tangga daerah selalu lebih ditekankan pada urusan pelayanan
(service). Dengan demikian, segala urusan yang akan menjadi ciri dan
kendali keutuhan negara kesatuan akan tetap pada pusat.
Pengertian otonomi luas bukanlah terutama soal jumlah urusan.
Otonomi luas harus lebih diarahkan pada pengertian kemandirian
(zelfstandigheid), yaitu kemandirian untuk secara bebas menentukan cara-
57 cara mengurus urusan rumah tangga daerah itu sendiri. Dengan perkataan
lain, hal yang harus diluaskan adalah kemandirian daerah. Sebab, betapapun
banyaknya urusan yang diserahkan kepada daerah namun apabila daerah
tersebut tidak mandiri, maka tidak akan dapat mewujudkan otonomi yang
sebenarnya.
Kedua, otonomi yang luas tidak sekadar melahirkan hak yang luas,
tetapi kewajiban yang luas, tidak sekadar wewenang, tetapi juga tanggung
jawab, dan tidak pula hanya sekadar sumber anugerah, tetapi juga beban.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa urusan pemerintahan
otonomi pada dasarnya bersifat pelayanan. Karena itu, sesungguhnya
otonomi tersebut adalah beban dan tanggung jawab, bukan sekadar dasar
untuk kewenangan. Akan tetapi, apabila disertai dengan berbagai
kelengkapan yang cukup baik dan memadai, maka beban dan tanggung
jawab itu akan menjadi nikmat bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
Mengingat fungsi dasar otonomi di atas, maka masalah utama yang dihadapi
sekarang bukan lagi terletak pada kehendak untuk berotonomi, melainkan
yang lebih konkret terletak pada ”kesiapan daerah melaksanakan segala
urusan otonomi yang sangat luas tersebut”.
58 B. Otonomi dan Materi Muatan Peraturan Daerah
Pluralisme Negara Kesatuan Republik Indonesia menghadirkan
keberagaman kepentingan dan problematika masing-masing Pemerintah
Daerah. Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan untuk mengatur
urusan rumah tangga sendiri melahirkan gambaran bahwa materi muatan
ataupun jenis Peraturan Daerah yang dibuat oleh masing-masing Pemerintah
Daerah berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Walaupun demikian,
terhadap materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi adalah
hal-hal lebih lanjut yang perlu diatur dengan Peraturan Daerah sesuai
perintah UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah di tingkat provinsi dan tugas pembantuan
(medebewind), serta mengurus kepentingan rakyat setempat menurut
prakarsa sendiri. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi adalah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 136 ayat (2) dan (3) UU 32 Tahun
59 2004 di tingkat Provinsi, dengan memperhatikan urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah provinsi (urusan dalam skala provinsi)
yang meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
10. pengendalian lingkungan hidup;
11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
60 Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah
sebagaimana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 136 ayat (2) dan (3) UU
32 Tahun 2004 di tingkat Kabupaten/Kota, dengan memperhatikan urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota
(urusan dalam skala kabupaten/kota) yang meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan;
7. penanggulangan masalah sosial;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
10. pengendalian lingkungan hidup;
11. pelayanan pertanahan;
12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. pelayanan administrasi penanaman modal;
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Secara teoretis, materi muatan menurut A. Hamid S. Attamimi
(1990:30) adalah muatan yang sesuai dengan bentuk peraturan perundang-
61 undangan tertentu. Otonomi daerah mengatur beberapa prinsip mengenai
materi muatan Peraturan Daerah, di antaranya adalah Peraturan Daerah
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah yang mengatur urusan rumah tangga daerah yang
bersumber dari otonomi lebih luas atau penuh dibandingkan dengan yang
bersumber dari tugas pembantuan. Di bidang otonomi, Peraturan Daerah
dapat mengatur segala urusan pemerintahan yang menjadi wewenang
daerah, baik yang bersifat substansial maupun mengenai cara-cara
menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Tidak demikian di bidang
tugas pembantuan, Peraturan Daerah tidak mengatur substansi urusan
pemerintahan, tetapi terbatas pada pengaturan cara-cara menyelenggarakan
urusan, tetapi daerah memiliki kebebasan sepenuhnya untuk mengatur caracara melaksanakan tugas pembantuan yang diwujudkan pengaturannya ke
dalam bentuk Peraturan Daerah.
Secara substansial Peraturan Daerah mengatur urusan pemerintahan
yang sangat luas, sejalan dengan kehendak udang-undang yang
memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah kabupaten dan
daerah kota. Substansi Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota jauh lebih
luas, tetapi tidak demikian halnya pada Peraturan Daerah Provinsi, meskipun
sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kewenangan Provinsi
62 sebagai daerah otonom lebih terbatas dibandingkan dengan kewenangan
kabupaten dan kota yang juga sebagai daerah otonom. Kewenangan masingmasing daerah pada bentuk hukum seperti Peraturan Daerah, perlu dipahami
dengan baik dan hati-hati, sebab berpotensi menimbulkan konflik
kewenangan, khususnya antara provinsi dengan kabupaten dan kota.
Bagi Provinsi, lingkup kewenangan jelas, yaitu hanya terbatas pada
ketiga hal di atas, sementara daerah kabupaten dan kota pun di dalam
menerjemahkan kewenangan yang luas tersebut ke dalam Peraturan Daerah.
Banyak di antara urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
kabupaten dan kota tidak hanya berdimensi lokal, tetapi juga nasional, seperti
pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup. Bahkan, ada yang berdimensi
internasional, tidak hanya nasional, apalagi lokal seperti perhubungan. Ada
unsure-unsur dari urusan tersebut yang harus diatur, bahkan
diselenggarakan secara nasional, tidak secara lokal.
Terdapat beberapa perbedaan sifat substansi Peraturan Daerah
berdasarkan otonomi dan berdasarkan tugas pembantuan. Berdasarkan
otonomi, sudah jelas sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Berdasarkan tugas pembantuan, substansi Peraturan Daerah mencakup
pengaturan tentang tata cara penyelenggaraan rumah tangga daerah yang
tidak bersumber pada undang-undang, tetapi semata-mata berdasarkan
kebijakan (beleid) dari satuan pemerintahan yang di bantu. Materi yang diatur
63 di dalamnya bersifat tertentu (limitative) sesuai dengan tugas-tugas yang
diberikan satuan pemerintahan yang di bantu. Makin terbatas urusan
pemerintahan Pusat, makin sedikit cakupan tugas pembantuan. Berdasarkan
wewenang Pusat yang diatur dalam undang-undang, maka tugas
pembantuan mungkin akan mengenai bagian tertentu dari penyelenggaraan
pertahanan dan keamanan, bagian tertentu dari urusan moneter dan fiskal
serta urusan keagamaan. Dibidang politik luar negeri, tidak akan ada tugas
pembantuan. Bahkan, sebaliknya pusat akan mengawasi wewenang daerah
untuk mengadakan hubungan luar negeri.
Peraturan Daerah yang substansinya merupakan penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi, dalam ketentuan
perundang-undangan tidak begitu jelas. Namun, penjabaran lebih lanjut
peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi oleh satuan pemerintahan yang
lebih rendah dapat dilakukan dalam rangka tugas pembantuan dan
dekonsentrasi. Kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan
dekonsentrasi dengan satuan pemerintahan yang lebih tinggi, oleh karena itu,
Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi hanya mingkindalam tugas pembantuan. Provinsi
mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintah lebih tinggi
(Pusat). Akan tetapi, hubungan ini bukan dengan Pemerintah Daerah
Provinsi, melainkan dengan gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
64 Olehnya itu, tidak mungkin dibentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan
tugas dekonsentrasi.
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan lain, dan peraturan perundang-undangan yang lain.
Ketentuan ini dapat dipandang sebagai kerangka pembatas atau koridor
dalam pembentukan Peraturan Daerah. Kerangka pembatas ini penting
artinya untuk meunjukkan, bahwa meskipun daerah mempunyai hak atau
wewenang mengatur urusan rumah tangganya sendiri yang dituangkan
kedalam bentuk keputusan hukum berupa Peraturan Daerah. Namun,
kewenangan itu tidak dalam artian sebagai satuan pemerintahan yang
merdaka dan berdaulat, tetapi tetap dalam bingkai negara kesatuan dan
sistem peraturan perundang-undangan secara nasional.
Dalam kenyataan, walaupun telah ada bingkai yang jelas tentang
materi muatan Peraturan Daerah, akan tetapi masing-masing daerah dapat
menyusun Peraturan Daerah yang materi muatannya selain dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung
kondisi khusus daerah tertentu atau ciri khas masing-masing daerah. Hal ini
menunjukan bahwa wajarlah jika local content menjadi materi muatan sebuah
Peraturan Daerah. Materi muatan lokal itu bisa saja diangkat dari adat
istiadat masyarakat setempat dan nilai-nilai yang menonjol di daerah
tersebut. Banyak yang beranggapan bahwa Peraturan Daerah-Peraturan
65 Daerah yang terkait dengan antimiras, perjudian, dan prostitusi yang
dianggap tidak seharusnya diatur di dalam Peraturan Daerah, karena sudah
diatur dalam KUHP. Namun harus diingat bahwa KUHP merupakan warisan
peninggalan Belanda sehingga ada kemungkinan untuk beberapa hal tidak
sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Apalagi telah kita sadari bahwa
minuman keras (khamr) merupakan induk dari kejahatan.
Dalam doktrin-doktrin ilmu hukum keberlakuan hukum secara filosofis,
sosiologis dan yuridis merupakan syarat mutlak untuk dapat membentuk
peraturan yang baik namun dalam kenyataan yang terjadi saat ini, ternyata
banyak peraturan daerah yang hanya mencerminkan satu keberlakuan saja
antara lain hanya mencerminkan keberlakuan secara yuridis namun
mengesampingkan keberlakuan secara sosiologis dan filosofis. Salah satu
contoh peraturan daerah yang tidak memperhatikan keberlakuan secara
sosiologis dan filosofis adalah Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 24 tahun
2007 tentang Pengendalian Pemanfaatan dan Pembakaran Hutan. Peraturan
daerah ini membuka peluang usaha di Propinsi Riau karena adanya keluasan
pemanfaatan hutan dan hal tersebut tentu saja dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah Propinsi Riau namun di pihak lain, ternyata
peraturan daerah tersebut mengabaikan kepentingan masyarakat. Peluang
usaha yang dibuka dengan memberikan ruang bagi pembakaran hutan
sangat merugikan aspek lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat.
66 Penggundulan hutan dapat menimbulkan longsor dan banjir yang tentu saja
bukan hanya merugikan masyarakat tapi juga akan menguras pendapatan
daerah untuk pembangunan kembali jika bencana terjadi. Peraturan
Daerahtersebut dapat dianggap sebagai Peraturan Daerahyang hanya
melihat 1 (satu) langkah ke depan dan melupakan efek jangka panjang yang
dapat ditimbulkannya serta tidak memperhatikan kearifan lokal masyarakat
setempat (Antara, 4 September 2007). Peraturan daerah ini telah
mencerminkan keberlakuan secara yuridis karena pembentukannya
didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya dan terbentuk menurut
cara yang ditetapkan namun ternyata secara sosiologis dan filosofis
peraturan daerah tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai
peraturan daerah yang baik.
Dalam Jurnal Jentera (edisi 14 tahun IV Oktober-Desember 2006)
disebutkan bahwa berdasarkan data statistik Peraturan Daerah Koleksi
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) ternyata untuk
peraturan daerah yang terkait dengan investasi terdapat 15 (lima belas) jenis
Peraturan Daerah untuk pajak daerah dan 33 (tiga puluh tiga) jenis Peraturan
Daerah untuk retribusi. Banyaknya peraturan daerah yang terkait dengan
investasi tersebut kemudian menimbulkan persoalan. Ketentuan dan
persyaratan investasi yang melewati begitu banyak meja dan birokrasi
menimbulkan keengganan bagi para investor untuk menanamkan
67 investasinya di daerah. Padahal pembentukan peraturan daerah yang lebih
ramah terhadap peluang investasi dapat membuka peluang yang lebih besar
bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui penanaman
modal para investor. Dalam jurnal tersebut disebutkan pula bahwa ada
persoalan pelaksanaan peraturan daerah yang paling mendominasi adalah
tidak jelasnya standar pelayanan pemerintah daerah dalam peraturan daerah
dan adanya pelanggaran filosofi antara lain dalam Peraturan Daerah tentang
retribusi di mana Peraturan Daerah tersebut diterapkan namun tidak
memberikan manfaat langsung bagi para pembayar retribusi.
Di Sulawesi Selatan banyak ditemukan Peraturan Daerah yang
merupakan peraturan yang bersifat untuk mengakomodasi potensi alam,
sumber daya dan kultural. Salah satu contoh adalah Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut yang didasari
pertimbangan bahwa untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dimiliki Provinsi Sulawesi
Selatan berdasarkan kontur geografisnya. Kewenangan Kota/kabupaten
untuk mengatur dan mengurus sendiri potensi kelautannya merupakam
modal dasar bagi peningkatan kemampuan daerah dalam berotonomi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan
Kota/kabupaten dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya
kelautan sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-
68 undangan, baik dalam rangka otonomi daerah maupun dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, maka
kebijakan pemerintah daerah harus dilakukan secara simultan, terencana dan
terpadu. Untuk mencapai dayaguna dan optimalisasi pemanfaatan dan
pengelolaan potensi sumber daya pesisisr dituntut adanya kebijakan daerah
yang sejalan dengan kebijakan nasional, untuk hal khusus dan tertentu
Pemerintah Kota/Kabupaten dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Dalam konteks ini, maka
kebijakan daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya
pesisir dapat dilakukan berdasarkan kewenangan yang telah diberikan
undang-undang dan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Selain itu, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga
memiliki Peraturan Daerah tentang Pelestarian Terumbu Karang.
Dalam bidang sosial politik, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga
telah melaksanakan suatu Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan
dan Pendidikan Gratis. Contoh lain yang dapat dikemukakan adalah adanya
Peraturan Daerah yang bersifat sektoral seperti Kpeariwisataan di Tana
Toraja yang memiliki potensi wisata budaya yang tinggi. Dalam bidang
keagamaan, ditemukan banyak sekali daerah yang membuat Peraturan
Daerah - Peraturan Daerah berbasis agama, seperti Peraturan Daerah
Syariah di Bulukumba, Desa Syariah di Kabupaten Maros dan Peraturan
69 Daerah tentang memakai busana muslim/muslimah dan membaca Al-Qur’an.
Pembuatan Peraturan Daerah berbasis syariah telah menjadi polemik dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia dan menjadi perdebatan.
Ada Peraturan Daerah yang dibentuk oleh suatu daerah ternyata
diikuti dan dicontoh oleh daerah lain namun dalam kenyataannya Peraturan
Daerah tersebut tidak cocok dengan kondisi daerahnya. Sebagai contoh,
lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba No. 6 tahun 2003 tentang
Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin Dalam Kabupaten
Bulukumba. Peraturan Daerah ini mensyaratkan wajib bisa mengaji bagi
calon pengantin. Akibatnya beberapa perkawinan sempat tertunda karena
calon pengantin tak dapat memenuhi syarat itu, sedang pihak keluarga sudah
melakukan sosialisasi perkawinan anaknya. Dalam kebudayaan Bugis
Makassar, pembatalan suatu perkawinan merupakan siri' (malu). Jadi
Peraturan Daerah ini berpotensi memicu konflik sosial. Penerapan Peraturan
Daerah seperti ini juga dilakukan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) namun tidak menimbulkan konflik sosial karena masyarakat di NAD
memang telah menerima syariah Islam sejak dahulu dan kondisi masyarakat
NAD yang homogen tentu saja lebih mendukung pelaksanaan Peraturan
Daerah syariah Islam. Selain itu penerapan syariah Islam di Aceh terkait erat
dengan political expediency Pemerintah Pusat guna mempertahankan NAD
(Nangroe Aceh Darussalam) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
70 (NKRI). Jadi, suatu Peraturan Daerah yang diberlakukan di suatu daerah
belum tentu sesuai untuk dibentuk di daerah lain karena kondisi tiap daerah
terutama kultur dan kearifan lokalnya tidak sama. Selain itu, keinginan
membentuk peraturan daerah dalam waktu yang cepat kadang membuat
para pembentuk peraturan daerah hanya melakukan copy paste baik dari
peraturan daerah dari daerah lain maupun dari aturan yang lebih tinggi.
Sebagai contoh Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Utara No. 2 tahun 2002
tentang Retribusi Pengawasan Mutu dan Pengembangan Produksi Cengkeh
dan Pala ternyata dari segi bentuk dan isi hanya copy paste dari Undangundang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sehingga materi dari Peraturan Daerah ini tidak sejalan dengan kondisi
masyarakat setempat.
Namun hal negatif yang ditemukan dalam berbagai penelitian yang
mengkaji peranan Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
adalah bahwa seringkali penyusunan Peraturan Daerah tidak berdasarkan
pada aspek kebutuhan publik, tetapi lebih merupakan pengejewantahan pada
aspek kepentingan Pemerintah Daerah. Kepentingan yang utama dan yang
umum ditemukan adalah kepentingan Pemerintah Daerah terhadap
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena orientasi
pembentukan Peraturan Daerah lebih dititikberatkan pada PAD maka
seringkali jenis dan objek pengaturan dalam Peraturan Daerah bukan
71 merupakan hasil elaborasi atau penelitian terhadap kepentingan masyarakat.
Sehingga wajar ditemukan dalam kenyataan jika masyarakat seringkali tidak
dilibatkan dalam pembentukan suatu Peraturan Daerah atau tidak bersifat
partisipatif. Padahal keterlibatan stakeholder dalam penyusunan suatu
peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dan syarat legal drafting
dalam bingkai demokrasi dan negara hukum yang telah menjadi fondasi
bangsa ini. Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan
agar tahapan penyebarluasan (sosialisasi) Peraturan Daerah harus
dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara Peraturan
Daerah dengan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi
internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam Peraturan Daerah sehingga
ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.
Bahkan dalam penelitian ditemukan pula bahwa seringkali sosialisasi
suatu proses penyusunan Peraturan Daerah tidak dilaksanakan secara baik
dan berdasarkan penelitian Hamzah (2008: 320) di Tana Toraja, Sulawesi
Selatan, ditemukan adanya pemahaman dari aparatur pemerintah daerah
bahwa sosialisasi rancangan suatu Peraturan Daerah tidak menjadi sesuatu
yang wajib karena tidak memiliki landasan peraturan. Dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan di alam demokrasi,
keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat tidak dapat dihindari.
Keikutsertaan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-
72 undangan bahkan menjadi salah satu prasyarat. Memperhatikan proses dan
produk legislasi selama ini maka ke depan peran serta masyarakat menjadi
suatu keharusan. Secara teoretik, idealnya suatu proses penyusunan
Peraturan Daerah melakukan pelibatan publik secara luas yang bertujuan
antara lain:
1. Agar pemerintah daerah segera mengetahui dan memperbaiki
kekeliruan yang terjadi dalam pembuatan kebijakan dan
pelaksanaan pelayanan publik;
2. Memungkinkan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan atau
program pembangunan sejalan dengan keinginan dan kebutuhan
masyarakat (bottom up) dan bukan berdasarkan selera penguasa
(topdown);
3. Terbukanya jaringan (akses) sumber daya yang ada dalam
masyarakat serta meningkatkan partisipasi masyarakat;
4. Dapat membantu pemerintah daerah mendeteksi dan mengelola
konflik yang kemungkinan muncul dalam masyarakat dengan
keberlakuan Peraturan Daerah tersebut.
Ada beberapa faktor yang mendorong keterlibatan dan peran serta
masyarakat, diantaranya adalah nilai filosofis demokrasi yang mengajarkan
bahwa dalam pengambilan keputusan yang akan mengatur rakyat maka
73 rakyat perlu didengar aspirasinya. Dukungan dan keberatan perlu didengar
dan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Oleh sebab itu
dalam proses legislasi di Daerah aspirasi, tuntutan dan keberadaan seluruh
komponen masyarakat sebagai stakeholders perlu menjadi perhatian. Selain
itu terdapat keterbatasan pengambil keputusan, sebab itu masyarakat perlu
diikutsertakan dalam proses legislasi, dengan memberikan kesempatan
kepada mereka menyampaikan aspirasi, keinginan dan pendapatnya.
Peraturan perundang-undangan yang tidak memperhatikan aspirasi dan
kepentingan masyarakat cenderung akan menimbulkan penolakan dalam
pelaksanaannya. Oleh sebab itu agar produk legislasi tersebut mendapat
dukungan masyarakat maka peran serta masyarakat dalam proses legislasi
perlu ditingkatkan. Sebagai wujud pertanggung jawabannya kepada pemilih
maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan peran serta
masyarakat perlu ditingkatkan. Peraturan perundang-undangan sebagai
suatu ketentuan hukum tidak hanya menjadi wadah yang mengatur dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, namun juga sebagai
sarana untuk membangun dan memperkokoh unsur good governance
diantaranya :
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya.
74 2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus
informasi.
4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses harus mencoba untuk
melayani setiap stakeholders.
5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan
yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan
yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedurprosedur.
6. Equity. Setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan,
mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga
kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and Efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga
menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan
sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor
swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembagalembaga stakeholders.
75 Peningkatan kapasitas dan kompetensi para legislator dan pemerintah
dalam proses perancangan Peraturan Daerah adalah hal mutlak untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan. Berdasarkan uraian di atas,
tampak bahwa terdapat materi muatan yang khas dalam berbagai Peraturan
Daerah sejalan dengan terbukanya peluang dan kesempatan untuk mengatur
urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini tidak hanya sebagai wujud
pelaksanaan otonomi daerah tetapi sesungguhnya juga dapat menjadi bentuk
tercapainya proses pembentukan hukum yang lebih responsif terhadap
kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Perancang Peraturan Daerah wajib mampu mendiskripsikan masalah
sosial tersebut. Salah satu cara untuk menggali permasalah tersebut adalah
dengan langkah penelitian. Untuk masalah sosial yang ada dalam
masyarakat, maka observasi pada obyek persoalan harus dilakukan.
Terhadap situasi seperti ini, oleh Robert B. Seidman ditawarkan sebuah
metode ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication, interest,
process, ideology). Metode ROCCIPI lebih mengajak para perancang untuk
melakukan penelitian faktual/empiris, untuk memperoleh data langsung
tentang masalah sosial yang akan diatur dalam peraturan daerah. Perancang
dapat dengan jelas menyebutkan apa masalah sosialnya dan bagaimana hal
itu akan diselesaikan. Demikian juga terhadap permasalahan sosial akibat
penerapan Peraturan Daerah, secara khusus ditawarkan metode RIA
76 (Regulatory Impact Analysis). Metode ini meliputi analisa cost and benefit
system. Artinya pelaksanaan Peraturan Daerah dievaluasi sedemikian rupa,
khususnya terhadap dampak yang ditimbulkan terhadap modal sosial yang
ada. Hasil analisa akan menjelaskan siginifikansi keberhasilan atau
kegagalan penerapan Peraturan Daerah dalam masyarakat. Selanjutnya
akan diikuti dengan usulan perbaikan yang lebih rasional dan aplikatif.
C. Implikasi Peraturan Daerah Dalam Sistem Perundang-undangan
Nasional
Berdasarkan sistem norma hukum berjenjang (stufentheory) yang
dianut Indonesia, suatu produk perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah terkait dengan otonomi daerah,
maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang menjadi urusan
wajib dan urusan pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten/kota, dapat menjadi materi muatan peraturan daerah sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan kepentingan umum.
Apabila terjadi pertentangan antara suatu Peraturan Daerah di suatu
kabupaten atau kota yang bertentangan dengan Peraturan Daerah di
kabupaten atau kota lain, maka pada hakikatnya hal tersebut tidak
77 berimplikasi hukum karena masing-masing memiliki kewenangan di
lingkungan atau wilayah otonominya sendiri-sendiri. Hal tersebut berbeda
bilamana kemudian Peraturan Daerah yang diterbitkan memiliki implikasi
yang bersinggungan dengan kepentingan daerah lain, sehingga timbul
perselisihan. Dalam konteks ini, peranan pemerintah pusat berfungsi
menyelesaikan melalui mekanisme administratif. Upaya hukum bagi
penyelesaian konflik antara daerah otonom dan Pemerintah yang berakar
pada pembatalan produk hukum daerah otonom sebaiknya tidak dilatari oleh
analogi penyelesaian konflik antara konstitusi Negara Bagian dan konstitusi
federal lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara Kesatuan kita perlu
berpegang pada prinsip bahwa daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah.
Dengan demikian daerah otonom hanya dimungkinkan menempuh upaya
hukum melalui upaya administratif.
Peraturan Daerah yang substansinya merupakan penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi, dalam ketentuan
perundang-undangan tidak begitu jelas. Namun, penjabaran lebih lanjut
peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi oleh satuan pemerintahan yang
lebih rendah dapat dilakukan dalam rangka tugas pembantuan dan
dekonsentrasi. Kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan
dekonsentrasi dengan satuan pemerintahan yang lebih tinggi, oleh karena itu,
Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
78 undangan yang lebih tinggi hanya mingkindalam tugas pembantuan. Provinsi
mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintah lebih tinggi
(Pusat). Akan tetapi, hubungan ini bukan dengan Pemerintah Daerah
Provinsi, melainkan dengan gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Olehnya itu, tidak mungkin dibentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan
tugas dekonsentrasi.
Untuk menganalisis uraian di atas, akan dikemukakan salah satu
contoh pengaturan yang dimaksud, dalam hal ini adalah masalah
ketenagakerjaan. Pengaturan kewenangan pemerintah daerah provinsi di
bidang ketenagakerjaan diatur lebih lanjut dalam PP 25 Tahun 2000, yang
menegaskan bahwa kewenangan Provinsi di bidang ketenagakerjaan
mencakup (a) penetapan pedoman jaminan kesejahteraan purnakerja; dan
(b) penetapan dan pengawasan atas pelaksanaan upah minimum.
Apabila dilihat dari sudut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003, tampaknya tidak satu pasal pun yang secara tegas
mendelegasikan kewenangan pengaturan atau pelaksananaan undangundang tersebut ke dalam bentuk Peraturan Daerah (Peraturan Daerah).
Akan tetapi hal itu tidak mengurangi peranan daerah dalam pelaksanaan UU
13 Tahun 2003. Sebab, ada beberapa ketentuan yang meskipun tidak
menenentukan bentuk pengaturan Peraturan Daerah, tetapi memberi
79 kesempatan kepada daerah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
tertentu, antara lain menyangkut:
1. Kewajiban memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota;
2. Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota;
3. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan
penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya
ternyata (a) tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja yaitu untuk
membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja
guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan;
dan (b) tidak memenuhi persyaratan pelatihan kerja, yang mencakup
tersedianya tenaga pelatihan, kurikulum, sarana dan prasarana, dan
tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan
pelatihan kerja.
4. Penetapan upah minimum, baik upah minimum berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota, maupun upah minimum berdasarkan
sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
80 5. Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan
satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan
sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12
(dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari
ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
6. Membentuk Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan
pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk
pengembangan sistem pengupahan nasional.
7. Membentuk lembaga kerja sama tripartit untuk memberikan
pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak
terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan. Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri atas (a)
Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/
Kota; dan (b) Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
8. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.
81 9. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tersebut pada pemerintah
provin-si dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
Di samping sejumlah urusan di bidang ketenagakerjaan yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sebagaimana
diatur dalam UU 13 Tahun 2003, dalam prakteknya, beberapa daerah
mengambil prakarsa untuk mengatur beberapa hal di bidang
ketenagakerjaan, dengan dasar atau alasan guna menampung kondisi
khusus di daerah. Materi muatan Peraturan Daerah yang mengatur soal
kondisi khusus daerah memang dimungkinkan dalam Pasal 12 UU 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan
hal tersebut, beberapa daerah mencoba mengatur bidang ketenagakerjaan –
antara lain—sebagai berikut:
1. Mekanisme dan dan tata aturan termasuk persoalan perlindungan
tenaga kerja.
2. Kewajiban bagi perusahaan yang beroperasi di daerah untuk
memprioritaskan tenaga kerja setempat.
3. Pengaturan tenaga kerja asing, misalnya tenaga kerja asing dilarang
menduduki jabatan yang mengurusi atau menangani personalia atau
jabatan-jabatan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
82 Kewajiban membayar kompensasi itu tidak berlaku bagi instansi
pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional,
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di
lembaga pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Kewajiban membayar kompensasi kepada negara atas setiap tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
5. Menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dengan tetap
mempertahankan laju pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha.
6. Menjamin keselamatan dan kesehatan para tenaga kerja.
7. Kewajiban mempekerjakan penyandang cacat sekurang-kurangnya
satu orang untuk setiap 100 orang pekerja.
Sebagai perbandingan, Pemerintah Daerah Bali dalam menangani
masalah pengangguran, menanggulanginya melalui langkah-langkah
strategis, di antaranya:
1. Pembuatan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan cukup di propinsi
diprakarsai oleh Dinas Tenaga Kerja Propinsi. Pertimbangan ini didasari
pada: Propinsi Bali dilihat dari penduduk dan luas wilayah sangat kecil,
kependudukan relatif ''homogen'', Bali merupakan satu-kesatuan labour
market information system. Perlu juga ada pertimbangan lain, untuk
83 menghindari terjadinya perbedaan-perbedaan substansial materi-materi
dari Peraturan Daerah Kabupaten yang bisa menjadi bumerang bagi kita.
Betapapun, kenyataan yang ada sekarang Bali sangat membutuhkan
tenaga-tenaga dari luar terlepas dari suka tidak suka. Mengatasi hal ini
bukan dari kacamata kependudukan tetapi dari kacamata skill.
2. Perencanaan tenaga kerja daerah (PTKD). PTKD tersebut baik tingkat
propinsi maupun kabupaten/kota merupakan acuan pokok bagi dinasdinas/kantor-kantor lainnya dalam menyusun program-program
pembangunan sehingga supplay dan demand tenaga kerja baik kuantitatif
maupun kualitatif dapat terarah pada pendayagunaan tenaga kerja secara
maksimal. Dapat pula dihindari sejauh mungkin situasi yang kalau dilihat
sepintas tampak aneh yaitu supplay tenaga banyak, kesempatan kerja
sempit/kecil jauh di bawah supply nampu penempatan masih di bawah
kesempatan kerja yang ada.
3. Sistem informasi pasar kerja. Betapa pentingnya informasi pasar kerja ini
disebarkan seluas-luasnya kepada masyarakat informasi pasar kerja (IPK)
tersebut dikelola oleh Disnaker Propinsi, Kabupaten/Kota yang dihimppun,
dianalisis, disebarkan oleh lembaga tersebut secara reguler kepada:
lembaga pengelola latihan, lembaga pendidikan, asosiasi
pengusaha/pekerja, camat-camat, selanjutnya camat menyampaikan ke
desa-desa bersangkutan, dan lembaga-lembaga yang dianggap perlu.
84 Seluruh kegiatan di atas dilakukan oleh Disnaker secara
berkesinambungan dengan isian data yang up to date.
4. Kesempatan kerja di luar negeri seperti Jepang, Korea, Hongkong,
Taiwan, Malaysia dan Singapura, yang rasanya masih membutuhkan
banyak tenaga kerja dari berbagai keterampilan menengah ke bawah.
Kembali pemerintah dengan serius harus mengambil prakarsa ini
bersama-sama dengan lembaga swasta yang berkaitan dengan masalah
ini, sehingga informasi akurat tentang permintaan tenaga kerja dari
negara-negara tersebut kita miliki dan dilanjutkan dengan langkahlangkah pengadaan tenaga kerja, terutama secara kualitatif.
Dalam prakteknya, beberapa daerah mencoba menggunakan
instrumen Peraturan Daerah guna mengatasi persoalan ketenagakerjaan di
daerahnya masing-masing, akan tetapi tidak sedikit Peraturan Daerah
Ketenagakerjaan yang dibentuk di beberapa daerah kemudian dibatalkan
oleh pemerintah pusat. Pembatalan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan
dilakukan oleh pemerintah pusat karena Peraturan Daerah-Peraturan Daerah
tersebut dinilai tidak kondusif bagi upaya menggalang arus investasi di
daerah. Sekurang-kurangnya 46 Peraturan Daerah telah dibatalkan oleh
pemerintah pusat karena Peraturan Daerah tersebut diindikasikan dapat
menyebabkan hambatan terhadap investasi, termasuk diantaranya yang
85 terkait dengan ketenagakerjaan. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, antara lain
Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat adalah:
1. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 13 Tahun 2002
tentang Retribusi Ketetnagakerjaan.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Mamuju nomor 9 tahun 2002
tentang Retribusi Izin Ketenegakerjaan.
3. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 5 Tahun 2002 tentang
Pengaturan dan Pemungutan Retribusi Ketenagakerjaan.
Walaupun terdapat pertentangan kewenangan, banyak yang berharap agar
Pemerintah Pusat hendaknya tidak harus melihat terobosan pemerintah
daerah dalam membentuk Peraturan Daerah Ketenagakerjaan sebagai suatu
musibah bagi dunia usaha, khususnya iklim investasi di daerah, sebab selain
daerah memang memiliki kewenangan di bidang ketenagakerjaan
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU 13 Tahun
2003 juga dapat digunakan sebagai instrumen untuk meminimalisasi konflik
hubungan ketenagakerjaan, yang sulit diantisipasi oleh pemerintah pusat
karena biasanya dampaknya dirasakan langsung oleh daerah yang
bersangkutan.
Di samping aturan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah juga tidak boleh
86 bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan lain, dan Peraturan
Perundang-Undangan yang lain. Ketentuan ini dapat dipandang sebagai
kerangka pembatas atau koridor dalam pembetukan Peraturan Daerah.
Kerangka pembatas ini penting artinya untuk meunjukkan, bahwa meskipun
daerah mempunyai hak atau wewenang mengatur urusan rumah tangganya
sendiri yang dituangkan kedalam bentuk keputusan hokum berupa Peraturan
Daerah. Namun, kewenangan itu tidak dalam artian sebagai satuan
pemerintahan yang merdaka dan berdaulat, tetapi tetap dalam bingkai
Negara kesatuan dan sistem peraturan perundang-undangan secara
nasional. Selain itu, kerangka pembatas ini dimaksudkan pula untuk
menghindari dampak negatif yang timbul sebagai akibat keluarnya Peraturan
Daerah, baik bagi masyarakat setempat, daerah lain, maupun kepentingan
nasional secara makro dan luas. Dengan perkataan lain, kerangka pembatas
itu bertujuan untuk menghindari timbulnya Peraturan Daerah yang secara
substansial bermasalah.
Salah satu masalah yang ditemukan oleh Komisi Nasional (Komnas)
Perempuan adalah berkaitan dengan Peraturan Daerah yang bernuansa
syariah, yang menilai bahwa umumnya Peraturan Daerah di berbagai daerah,
termasuk Sulawesi Selatan, bersifat diskriiminatif dan melanggar hak asasi
manusia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan tercatat
87 beberapa Peraturan Daerah Sulawesi Selatan yang direkomendasikan untuk
dibatalkan, diantaranya:
1. Peraturan Desa Muslim Padang, Kecamatan Gantarang Bulukumba
Nomor 05 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 2003
tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
3. Peraturan Daerah Kabupaten Enrekang Nomor 6 Tahun 2005
tentang Busana Muslim.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Berpakaian Muslim dan Muslimah.
Temuan ini menunjukkan bahwa seringkali Peraturan Daerah dibentuk
hanya berdasarkan kepentingan dan pandangan tertentu dari Pemerintah
Daerah terhadap hal-hal yang berkaitan kehidupan sosial politik lokal tanpa
memperdulikan apakah substansi aturan dalam Peraturan Daerah tersebut
tidak berkesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan
seluas-luasnya diterjemahkan oleh Pemerintah Daerah juga dapat membuat
Peraturan Daerah yang spesifik sesuai kearifan lokal (local wisdom) yang
didasari pertimbangan bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang
bertentangan karena tidak ada larangan dalam undang-undang yang lebih
tinggi. Bahkan Peraturan Daerah yang dimaksud sebagai peraturan
88 operasional dari ketentuan-ketentuan umum yang lebih tinggi, seperti
misalnya tentang penyebaran agama.
Selanjutnya diatur pula bahwa Peraturan Daerah tidak boleh
bertentangan dengan Kepentingan Umum. Pengertian dari ruang lingkup
kepentingan umum, hingga saat ini belum pernah ada kesepakatan hukum
ataupun ilmiah. Namum, paling tidak perkataan “Umum” harus dipahami tidak
sekadar diartikan “orang banyak”, tetapi dan terutama dalam arti bahwa ada
kesempatan bagi masyarakat memperoleh manfaat seluas-luasnya tanpa
syarat-syarat yang terlalu memberatkan. Sebuah Hotel berbintang lima,
misalnya diperuntukkan bagi orang banyak. Akan tetapi, hal itu tidak
termasuk dalam pengertian kepentingan umum, karena hanya orang yang
mampu membayar saja yang dapat menikmati hotel tersebut.
Berbeda hal dengan jembatan, pasar, tempat-tempat peribadatan,
atau tempat-tempat umum lainnya yang dapat dimanfaatkan setiap orang
tanpa harus memikul beban tertentu. Artinya, setiap orang tanpa melihat
kondisi individual memerlukan dan memperoleh manfaat dari fasilitas atau
tempat umum tersebut. Jadi beberapa ukuran yang dapat dipergunakan
untuk menentukan kepentingan umum tersebut:
1. Dibutuhkan oleh orang banyak
2. Setiap orang dapat menikmati dan memperoleh manfaat tanpa ada
pembatasan karena kondisi individual seseorang
89 3. Harus dalam rangka kesejahteraan umum, baik dalam arti materil
maupun spiritual
Ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Daerah lain cukup membingungkan, sebab Peraturan Daerah lain
dapat berarti Peraturan Daerah dalam lingkungan pemerintahan daerah yang
sama, atau Peraturan Daerah Pemerintahan Daerah lain yang sederajat, atau
pula Peraturan Daerah dari pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota
terhadap Peraturan Daerah Provinsi dalam Wilayah yang sama. Pada
dasarnya memang tidak boleh ada pertentangan antar Peraturan Daerah
dalam pemerintahan daerah yang sama. Apabila terjadi, akan diselesaikan
melalui prinsip “lex posteriori derogat legi priori” dan “lex superior derogate
legi inferiori”. Apabila ketentuan baru yang lebih rendah bertentangan dengan
ketentuan lama yang lebih tinggi, maka ketentuan baru harus
dikesampingkan dengan memperhatikan lingkungan wewenang masingmasing.
Apabila Peraturan Daerah suatu Pemerintah Daerah bertentangan
dengan Peraturan Daerah Pemerintah Daerah sederajat lainnya, maka tidak
ada konsekuensi hukum dari pertentangan itu. Keduanya berlaku dan
dijalankan pada masing-masing lingkungan pemerintah yang berbeda satu
sama lain. Persoalan dapat timbul apabila Peraturan Daerah yang
90 bertentangan tersebut akan merugikan secara mendasar berbagai
kepentingan daerah lainnya. Misalnya, Pemerintah Daerah X sudah memiliki
Peraturan Daerah yang mengatur tentang investasi di daerahnya. Pemerintah
daerah Y kemudian membuat juga peraturan daerah tentang investasi.
Namun, substansi Peraturan Daerah daerah Y berisi syarat-syarat dan
berbagai kemudahan bagi masuknya investasi ke daerah Y, sehingga banyak
investor yang memasukkan/menanamkan investasinya di daerah Y. Dalam
hal seperti ini tentu daerah X merasa dirugikan. Dalam hal ini timbul
”perselisihan kepentingan” yang dapat diselesaikan melalui mekanisme
administratif (penyelesaian oleh pusat) atau melalui proses peradilan.
Terhadap ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi,
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi akan batal demi hukum, atau dapat dibatalkan.
Sepanjang Peraturan Daerah bertentangan dengan UUD, Tap MPR, dan
Undang-undang, akan batal demi hukum atau mesti dibatalkan. Tidak
demikian halnya dengan peraturan perundang-undangan lain. Apabila
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ternyata mengatur
hal-hal otonomi dan tugas pembantuan sebagai urusan rumah tangga
daerah, maka peraturan itulah yang harus dibatalkan, bukan Peraturan
Daerah dengan mengatur tanpa wewenang (ultra vires). Kalau ini tidak dapat
91 dipegang dapat terjadi pergeseran terhadap urusan rumah tangga daerah ke
arah sentralisasi sebagai sesuatu yang justru berlawanan dengan semangat
otonomi seluas-luasnya yang digariskan undang-undang.
Bagaimanakah kalau Peraturan Daerah suatu kabupaten atau kota
bertentangan dengan peraturan daerah provinsi yang mencakup kabupaten
atau kota tersebut? Penyelesaian akan ditentukan oleh lingkungan
wewenang provinsi, kabupaten atau kota yang bersangkutan. Apabila
ternyata Peraturan Daerah Provinsi mengatur di luar urusan rumah
tangganya sehingga bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten atau
Kota, maka Peraturan Daerah Provinsi yang harus dibatalkan. Sebaliknya,
apabila ternyata Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota mengatur urusan
rumah tangga Provinsi, maka Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota yang
harus dibatalkan.
Dengan demikian, tampak betul bahwa membentuk Peraturan Daerah
secara kuantitatif relatif mudah, namun membuat Peraturan Daerah yang
secara kualitatif mampu menerjemahkan materi muatan yang akan diatur
didalamnya dan terutama tidak berlawanan dengan kerangka pembatas yang
ditentukan UU Pemerintahan Daerah, jauh lebih sulit dan komplek sifatnya.
Itulah sebabnya dibutuhkan kualitas sumber daya manusia daerah yang
memadai di dalam merancang dan membangun Peraturan Daerah yang
92 diharapkan mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi kehadiran
investor untuk menanamkan investasinya di daerah.
Berdasarkan data dari Departemen Keuangan, sejak tahun 2001
hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan telah mengevaluasi 1.121
rancangan peraturan daerah (raPeraturan Daerah). Dari jumlah tersebut, 67
persen di antaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan
diterapkan menjadi Peraturan Daerah. Adapun dari 11.401 Peraturan
Daerahyang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan Departemen
Dalam Negeri. Peraturan daerah tersebut mengatur tentang pajak daerah
dan retribusi daerah (PDRD). Rincian Peraturan Daerahyang dibatalkan
dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel Pembatalan Peraturan daerah
No. Bidang persentase
1 Sektor perhubungan 15 %
2 Sektor pertanian 13 %
3 Sektior industri 13 %
4 Sektor Peraturan Daerahgangan 13 %
5 Sektor kehutanan 23 %
6 Sektor social 23 %
Jumlah 100 %
Sumber data : http://www.tekmira.esdm.go.id
Peraturan Daerah yang akan dan telah ditetapkan dapat berlaku efektif
dan tidak dicabut atau dibatalkan oleh pemerintah, maka pembuatan
Peraturan Daerah harus memenuhi norma-norma atau kaidah-kaidah
93 menurut hukum yang menjadi dasar hukumnya, serta norma-norma yang ada
dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu, pembuatan
Peraturan Daerah sebagai bentuk hukum harus memenuhi aspek yuridis,
aspek filosofis, aspek sosiologis, termasuk aspek politis agar Peraturan
Daerah memiliki karakter hukum yang responsif sehingga berlaku secara
efektif dan sesuai tujuan yang diharapkan. Pembuatan Peraturan Daerah
memiliki perbedaan sifat sebstansi materi muatan, jika Peraturan Daerah
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi dengan Peraturan Daerah
yang dibentuk di bidang tugas pembantuan serta substansi Peraturan Daerah
sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Secara prosedural, pembentukan Peraturan Daerah didahului dengan
penyampaian Rancangan Peraturan Daerah atas prakarsa KDH atau
prakarsa DPRD. Rancangan Peraturan Daerah tersebut disebarluaskan
kepada masyarakat (stakeholders lain) untuk memperoleh masukan sebelum
persidangan, sehingga Peraturan Daerah yang dihasilkan dapat lebih absah
(legitimate). Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah tersebut
dimaksudkan juga sebagai bentuk keterbukaan (openess) dan transparansi
penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam persidangan di DPRD pun dibuka
keterlibatan masyarakat, khususnya dalam persidangan Rancangan
Peraturan Daerah mengenai APBD, pajak, restribusi dan tata ruang.
94 Peraturan Daerah yang dihasilkan dalam persidangan perlu diundangkan
dalam Lembaran Daerah dan paling lama 7 (tujuh) hari disampaikan kepada
Pemerintah.
Menurut UUD NKRI Tahun 1945 dan pasal 1 butir 1 Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004, Pemerintah adalah Presiden. Penyampaian Peraturan
Daerah kepada Pemerintah tersebut dimaksudkan untuk keperluan
pengawasan represif. Dalam pasal 145 ayat (2) dan (3) ditentukan bahwa
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum (merit
review) dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (legal
review) dapat dibatalkan oleh pemerintah. Dengan demikian pembatalan
Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota oleh Presiden dilakukan dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan tersebut mengandung kelemahan yuridis dan dapat menimbulkan
birokratisme dalam pembatalan produk hukum daerah. Kelemahan yuridis
yang melekat pada ketentuan tersebut adalah bahwa pembatalan suatu
produk hukum daerah seharusnya dengan norma hukum individual dan
konkret dan bukan dengan Peraturan Presiden. Disamping, itu dengan
disisipkannya kata ”dapat” dalam ketentuan tentang pembatalan, maka
pembatalan tersebut tidak bersifat imperatif tetapi fakultatif.
Upaya hukum bagi penyelesaian konflik antara daerah otonom dan
Pemerintah yang berakar pada pembatalan produk hukum daerah otonom
95 sebaiknya tidak dilatari oleh analogi penyelesaian konflik antara konstitusi
Negara Bagian dan konstitusi federal lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara
Kesatuan kita perlu berpegang pada prinsip bahwa daerah otonom adalah
ciptaan Pemerintah. Dengan demikian daerah otonom hanya dimungkinkan
menempuh upaya hukum melalui upaya administratif. Salah satu persoalan
pokok yang muncul berkenaan dengan pembatalan Peraturan Daerah oleh
Departemen Dalam Negeri. Salah satu contoh adalah pembatalan dua
Peraturan Daerah Pemerintah Kota Makassar yang dinilai bertentangan
dengan Undang-Undang dan merugikan Publik. Dua Peraturan Daerah
tersebut adalah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1996 tentang Retribusi
Pasar dan Pusat Perbelanjaan di Makassar dan Peraturan Daerah Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pajak Parkir. Pembatalan kedua Peraturan Daerah Kota
Makassar itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
(Kepmendagri) Nomor 19 Tahun 2006 dan Nomor 20 Tahun 2006 tertanggal
28 Februari 2006. Selain dua Peraturan Daerah dari Pemerintah Kota
Makassar, menurut Direktur Bina Administrasi Keuangan Depdagri Daeng
Mochammad Nazier, sudah ada 393 Peraturan Daerah sejenis yang sudah
dibatalkan oleh Mendagri. Peraturan Daerah tersebut berasal dari seluruh
daerah di Indonesia
Dalam teori perundang-undangan, Peraturan Daerah merupakan
bagian dari peraturan karena bersifat mengatur (regeling) bukan bagian dari
96 ketetapan atau keputusan (beschikking). Artinya, norma hukum yang
dikandung dalam Peraturan Daerah adalah norma hukum umum. Norma
hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum,
addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua warga negara.
Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) dimana addresatnya tertuju pada seseorang, beberapa orang, atau perindividu. Oleh karena
itu, pembatalan sebuah peraturan harus dengan instrumen peraturan.
Demikian pula pembatalan sebuah ketetapan atau keputusan seharusnya
dilakukan dengan ketetapan atau keputusan serupa.
Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah
mencakup tiga hal, yaitu (a) seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, (b) menampung
kondisi khusus daerah, dan (c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa sebuah
Peraturan Daerah tidak boleh atau dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Apabila sebuah Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan
97 umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka
Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Akibat hukum
dari Peraturan Daerah yang dibatalkan adalah paling lama tujuh hari setelah
keputusan pembatalan, Peraturan Daerah tersebut dihentikan
pelaksanaannya oleh Kepala Daerah, selanjutnya DPRD bersama Kepala
Daerah mencabut Peraturan Daerah tersebut.
Akan tetapi, pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah (pusat)
tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Ada syarat dan mekanisme
sebuah Peraturan Daerah dapat dibatalkan oleh pemerintah. Syarat utama
pembatalan Peraturan Daerah adalah bahwa keputusan pembatalan
Peraturan Daerah harus ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Pasal 145
Ayat 3 UU 32/2004). Peraturan Presiden (Perpres) adalah salah satu jenis
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden yang materinya
berupa materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian, Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) merupakan sebuah kekeliruan hukum.
Kekeliruan itu terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan
Daerah harus dalam bentuk Perpres bukan Kepmendagri, lagi pula sangat
janggal karena Peraturan Daerah yang masuk dalam rumpun regeling
dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam rumpun beschikking.
98 Setidaknya, Kepmendagri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut
belum final sebagai keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh
pemerintah, karena keputusan tersebut harus dikukuhkan atau dikemas
ulang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).
Mengapa pembatalan Peraturan Daerah tidak cukup dengan
menggunakan Kepmendagri? Bukankah Mendagri bagian dari pemerintah,
sehingga lebih efektif jika pembatalan itu dilakukan oleh Mendagri? Pendapat
seperti ini pada dasarnya masih dipengaruhi oleh Undang-Undang
Pemerintah Daerah yang lama (UU No. 22/1999), sebab dalam undangundang tersebut memang tidak menyebutkan secara tegas tentang instrumen
hukum pembatalan Peraturan Daerah. Di sana hanya disebutkan bahwa
pemerintah dapat membatalkan peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundangundangan lainnya.
Akan tetapi, syarat dan mekanisme pembatalan Peraturan Daerah
dewasa ini harus mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No. 10
Tahun 2004 dimana ditegaskan bahwa pembatalan Peraturan Daerah harus
menggunkana instrumen hukum Perpres. Oleh karena itu, keberadaan
Kepmendagri yang membatalkan Peraturan Daerah merupakan penggunaan
kewenangan yang tidak pada tempatnya (ultra vires). Seharusnya keputusan
99 pembatalan Peraturan Daerah dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan
Presiden (Perpres). Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan
Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah
tersebut dinyatakan tetap berlaku. Namun demikian, Mendagri dapat
menbatalkan satu jenis Peraturan Daerah sesuai ketentuan undang-undang,
yaitu Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), selebihnya pembatalan Peraturan Daerah harus dengan instrumen
Peraturan Presiden (Perpres).
Apabila pemerintah daerah tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Peraturan Daerah yang tertuang dalam Perpres – dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan – maka kepala
daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Istilah
“keberatan” di sini menimbulkan persoalan tersendiri, sebab prosedur
keberatan lebih merupakan istilah untuk upaya hukum terhadap keputusan
tata usaha negara (beschikking) yang dalam teori hukum administrasi
merupakan bagian dari upaya administratif (administratieve beroep) di
samping banding administratif.
Dengan istilah keberatan, seakan-akan sengketa pembatalan
Peraturan Daerah merupakan sengketa di bidang hukum administrasi
padahal sengketa tersebut adalah sengketa antara peraturan perundangundangan (konflik peraturan) yakni antara Peraturan Daerah dengan Perpers.
100 Seharusnya, istilah yang digunakan adalah “permohonan” sebagaimana
istilah tersebut digunakan dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA disebutkan bahwa
Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku. Di samping itu, putusan MA dapat diambil
baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun
berdasarkan “permohonan” langsung pada Mahkamah Agung. Dengan istilah
permohonan, maka jelas pertentangan antara Peraturan Daerah dan Perpres
masuk dalam wilayah “judicial review” Mahkamah Agung, sedangkan jika
menggunakan istilah keberatan lebih mengarah pada uji materil yang
dilakukan oleh pemerintah atau lembaga eksekutif (executive review).
Padahal jelas bahwa, baik Peraturan Daerah maupun Perpres saat ini
tergolong bagian dari peraturan perundang-undangan yang berlaku umum
dan mengikat seluruh warga negara. Apabila keberatan atau permohonan
judicial review dikabulkan oleh Mahkamah Agung baik sebagian atau
seluruhnya, maka Peraturan Presiden yang telah membatalkan Peraturan
Daerah tersebut dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dengan demikian, Peraturan Daerah tersebut tetap berlaku.
101 Menurut Bagir Manan (dalam Jazim Hamidi: 2008: 35) mengingat
bahwa Peraturan Daerah (termasuk peraturan desa) dibuat oleh satuan
pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang
mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan
"pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan wewenangnya". Suatu
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan suatu peraturan perundangundangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata
peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih tinggi yang melanggar
hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan
Daerah. Sehingga ke depan, kiranya perlu ditata ulang mekanisme review
Peraturan Daerah yang dinilai bermasalah. Seyogianya, revisi terhadap
Peraturan Daerah bermasalah apakah karena bertentangan dengan
kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tidak lagi diletakkan di pundak pemerintah, akan
tetapi kewenangan itu diserahkan langsung kepada Mahkamah Konstitusi,
sehingga Mahkamah tidak hanya menguji validitas UU terhadap UUD tetapi
juga menguji validitas peraturan perundang-undangan lainnya terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk Peraturan
Daerah.
102 Selanjutnya, penilaian terhadap bermasalah tidaknya sebuah
Peraturan Daerah seyogianya diserahkan kepada warga masyarakat baik
perorangan maupun secara kolektif. Warga masyarakat yang merasa hakhak dan kewenangan normatifnya dirugikan oleh sebuah Peraturan Daerah
dapat meminta atau memohon pembatalan Peraturan Daerah tersebut
kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, eksistensi Peraturan
Daerah benar-benar berada dalam satu kesatuan utuh dan hubungan
hirarkhis dengan peraturan perundang-undangan lainnya (UUD, UU/Perpu,
Peraturan Pemerintah, Perpres, dan Peraturan Daerah).
Di samping itu, usulan agar setiap Rancangan Peraturan Daerah
dikonsultasikan kepada Depdagri atau departemen terkait sejak digodok atau
sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah merupakan usulan yang
positif guna mengantisipasi kondisi dewasa ini. Hal ini perlu dilakukan untuk
mengurangi munculnya Peraturan Daerah bermasalah yang jumlahnya
semakin meningkat. Agar upaya ini bisa efektif, maka sebaiknya konsultasi
Rancangan Peraturan Daerah dilakukan secara berjenjang, yaitu Rancangan
Peraturan Daerah dari Kabupaten/Kota dikonsultasikan kepada pemerintah
provinsi, sedang Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dikonsultasikan
kepada Depdagri. Terakhir, perlu upaya yang sistematis dan
berkesinambungan guna meningkatkan kemampuan anggota DPRD dan
jajaran Pemda dalam perancangan peraturan daerah yang baik. Prinsip-
103 prinsip dan metode perancangan Peraturan Daerah berbasis “Good
Legislation Governance” harus dipahami betul oleh setiap anggota DPRD
agar Peraturan Daerah yang dihasilkan tidak menimbulkan masalah dan
memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat.
104 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Esensi dan urgensi Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah adalah sangat strategis. Peraturan Daerah sebagai produk hukum
daerah merupakan sesuatu yang inherent dengan sistem Otonomi
Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah itu
sendiri yang bersendikan kemandirian yang mengandung arti bahwa
Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga
pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti
bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan
perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan Daerah.
Dengan semikian, kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah menjadi
sesuatu yang mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah,
namun dalam wadah negara kesatuan yang tetap menempatkan
hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen.
2. Ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat
Peraturan Daerah telah diberikan batasan berdasarkan undang-undang.
Namun ditemukan berbagai kekhasan dalam materi muatan Peraturan
105 Daerah yang secara khusus mencerminkan berbagai potensi yang dimiliki
oleh suatu daerah otonom. Materi muatan Peraturan Daerah sangat
dipengaruhi oleh kultur budaya dan dinamika sosial politik serta
pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali upaya pelayanan terhadap
kebutuhan dan kepentingan masyarakat ternoda oleh kecenderungan
untuk menggunakan Peraturan Daerah sebagai mekanisme untuk
menambah pendapatan asli daerah yang berujung pada tindakan represif
yang justru mengorbankan kepentingan rakyat. Peran aktif masyarakat
dalam setiap proses pembuatan Peraturan Daerah diharapkan mampu
meminimalisir kesenjangan dan masalah yang dapat terjadi.
3. Peraturan Daerah memiliki posisi dalam sistem hirarki peraturan
perundang-undangan, sehingga keberadaannya tidak luput dalam tatanan
sistem prinsip yang berlaku. Keharusan untuk tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi serta keharusan untuk melakukan sinkronisasi
dan harmonisasi dengan peraturan perundangan lainnya adalah hal yang
perlu senantiasa dihormati dalam bingkai negara hukum. Temuan tentang
adanya mekanisme yang belum sesuai dalam konteks penyelesaian
perselisihan antar Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat memerlukan perhatian yang serius agar tercipta kepastian hukum
dan tercapainya good legislation governance dalam sistem hukum
ketatatanegaraan Indonesia.
106 B. Saran
1. Kelemahan utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah adanya
pemahaman Pemerintah Daerah bahwa kewenangan seluas-luasnya
serupa dengan konsep kewenangan negara bagian pada negara federal
sehingga seringkali Pemerintah Daerah bertindak ultra vires dengan
membuat berbagai Peraturan Daerah yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia maka disarankan adanya
upaya setiap Pemerintah Daerah mengubah paradigma tersebut agar
tercipta kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian
hukum bagi setiap warga masyarakat.
2. Karena masih adanya persepsi yang keliru tentang mekanisme
pembatalan Peraturan Daerah, maka disarankan untuk membentuk
peraturan yang bersifat operasional dan aplikatif yang merinci secara
komprehensif, termasuk kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme
atau prosedural yang sah dalam proses evaluasi dan pembatalan
Peraturan Daerah. Sehingga ke depan dapat dihindarkan adanya
kesalahan prosedural dan pemerintah memiliki pedoman yang jalan
tentang mekanisme tersebut.
107 DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ruslan, 2006, Pembentukan Perundang-undangan yang
Berkualitas, tidak diterbitkan.
Amiroeddin Sjarif. Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuat.
Rieneke Cipta, Jakarta
Antara News, edisi 4 September 2007 akses melalui www.google.com
tanggal 27 Mei 2009
Attmimi, Hamid, A 1990. Peranan Keputusan Presiden dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara. Disertasi, Pascasarjana
UI, Jakarta
Bachrie, Syamsul. Sistimatika dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah.
Bahan Pelatihan tentang teknik Penyusunan Peraturan Daerah
Se Indonesia Timur.
Bagir Manan.1992. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Ind-Hill
Co, Jakarta.
-----------,1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan
Undang-Undang Pelaksananya),Unsika, Kerawang.
----------- dan Kuntana Magar 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia. Alumni, Bandung.
Hamzah. 2008. Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Daerah Dan implikasi
Hukumnya. Pascasarjana UNHAS.
H. Rozali Abdullah, 2000, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme
Sebagai Alternatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Irawan Soejito, 1981, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Bina Aksara, Jakarta.
Jazim Hamidi, 2008, Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi
Pustaka, Jakarta
Josef Riwu Kaho, 1998, Prospek Otonomi Daerah di Negara RI, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta
108 Jurnal Jentera (edisi 14 tahun IV Oktober-Desember 2006)
Lubia, Solly. M. 1977. Landasan dan Teknik Perundang-Undangan. Alumni,
Bandung.
Martin Jumung, 2005, Politik Lokal dan Pemerintah Daerah dalam Perspektif
Otonomi Daerah, Pustaka Nusantara, Jakarta
Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Prapanca, Jakarta.
Pipin Syarifin dan Dedan Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah,
Pustaka Bani Quraisy, Bandung
Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to The Indonesian Administrative Law), Gajah
Mada University Press , Yogyakarta
Notohamidjojo. O. 197. makna Negara Hukum. Badan Penerbit Keristen
Jakarta.
Pantja, Gede. I. tt. Problematika Peraturan Daerah antara Tantangan dan
Peluang Berinvestasi di Era Otonomi Daerah.
Prakosa, Djoko. 1885. Proses Pembentukan Daerah dan Beberapa Usaha
Penyempurnaannya. Ghalia Indonesia, Jakarta
Ranggawidjaja, Rosjidi. H. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan
Indonesia. Mandar Maju, Bandung
Sarlito Wirawan, 1992, Psikologi Lingkungan, Grasindo, Jakarta
Sarundajang, 1999, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta
Saini K.M. 2005, Pikiran Rakyat, Edisi 30 Juli 2005
Smith. B.C. 1985. Decentralization, The territorial Dimension of The State.
George Allen & Unwin, London.
Sri Soemantri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Alumni,
Bandung.
Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini, Extending the Environmental Wisdom
Beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the
109 Learning Community. http://library.witpress.com/pages/
paperinfo.asp, Akses tanggal 29 Mei 2009
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Widarta, 2001. Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Lapera Pustaka
Utama, Yogyakarta
110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar